Halokaltim, Tenggarong – Riuh Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pada Rabu, 15 Mei 2024, sampai ke Kutai Kartanegara. Dalam RDP yang membahas Evaluasi Tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024, turut disetujui dua Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Salah satu poin yang disorot dalam draft PKPU tersebut adalah status wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah di tengah periode, misal karena persoalan hukum. Disebutkan jika wakil kepala daerah tersebut maju dan menjalankan tugas sebagai kepala daerah, maka dianggap telah menjabat sebagai kepala daerah atau bupati.
“Jadi, misalkan ada pasangan kepala daerah, kepala daerahnya katakanlah terkena masalah hukum, kemudian setelah statusnya sebagai terdakwa itu dinonaktifkan atau diberhentikan sementara,” ujar Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ar, dalam RDP tersebut. “Maka kemudian yang menjalankan tugas-tugas sebagai kepala daerah adalah wakil kepala daerah tersebut sebagai, apa istilahnya, pejabat sementara atau pelaksana tugas,” lanjutnya, “maka begitu wakil kepala daerah itu menjalankan tugas sebagai bupati, itu sudah masuk hitungan, bahwa yang bersangkutan pernah menduduki jabatan sebagai bupati atau kepala daerah.”
Pernyataan Hasyim itu pun menjadi relevan dengan situasi di Kutai Kartanegara saat ini. Bupati Kukar 2021-2026, Edi Damansyah, pada periode sebelumnya, 2016-2021, sebagai wakil bupati, menggantikan bupati Rita Widyasari yang tersandung dalam pusaran hukum. Edi, yang saat itu wakil bupati, ditugaskan menjabat Pelaksana Tugas Bupati Bupati Kukar pada 9 April 2018 sampai 13 Februari 2019 berdasar Surat Penugasan Nomor 131/13/B.PPOD.III/2017. Edi kemudian menjadi bupati definitif pada 14 Februari 2019 sampai 13 Februari 2021 berdasarkan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 131.64-254/2019.
Pernyataan Ketua KPU RI itu pun memicu asumsi liar yang menyebut kepemimpinan Edi pada 2016-2021 telah terhitung sebagai satu periode. Padahal, bila dalam kacamata hukum, durasi Edi sebagai bupati definitif belum memenuhi kriteria untuk terhitung dalam satu periode. Di samping, PKPU yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada mendatang juga masih berupa draft. Sehingga masih terlalu dini untuk memvonis apapun terkait situasi politik di Kutai Kartanegara saat ini.
Menanggapai dinamika tersebut, Wakil Ketua PDI Perjuangan Kutai Kartanegara Bidang Politik, Aulia Rahman, menyebut bahwa PKPU menganai Pilkada 2024 masih berupa draft. Bagaimana kriteria kepala daerah dihitung telah menjabat satu periode juga masih belum jelas untuk pilkada mendatang. Namun menurut peraturan berlaku, seseorang telah dianggap menjabat kepala daerah dalam satu periode adalah ketika ia telah menjabat setelam dua setengah tahun. “Nah, apakah dalam PKPU tersebut durasi dua setengah tahun turut dihitung ketika masih Plt (pelaksana tugas), juga masih belum final,” terang Rahman, Sabtu, 18 Mei 2024.
Dari internal PDI Perjuangan sendiri, Edi Damansyah hampir pasti kembali diusung sebagai calon bupati Kukar pada Pilkada 2024 mendatang. Yang mana ini tak lepas dari prestasi Edi yang mengantar partai berlambang moncong banteng tersebut, meraih 16 kursi di DPRD Kukar pada Pemilu 2024 dan menjadi yang paling dominan. “Selain itu, prestasi Beliau sebagai bupati juga sangat luar biasa. Dan belum ada figur sekuat Edi Damansyah di Kukar saat ini,” lanjutnya.
Karenanya, lanjut Aulia Rahman, sebagaimana diskusinya dengan Edi Damansyah, ketua DPC PDI Perjuangan tersebut tak ambil pusing akan isu yang beredar. Edi menegaskan komitmen dan fokusnya bekerja untuk masyarakat. “Edi Damansyah ingin terus membantu rakyat, karena dia sangat mencintai rakyat. Sementara, kekuasan adalah alat politik untuk menyejahterakan rakyat,” tuturnya.
PDI Perjuangan Kukar pun optimistis bisa kembali mengusung Edi sebagai incumbent pada Pilkada Kukar mendatang. Karena mengacu Undang-Undang Kepala Daerah, Edi baru terhitung sebagai bupati satu periode. “Plt tak dihitung sebagai kepala daerah definitif. Karena saat itu jebatan utama Edi Damansyah adalah wakil bupati. Slip gajinya juga masih wakil bupati,” urainya.
Sementara, Ketua BP-Pemilu DPC PDIP Kukar, Junaidi, menyebut jika PDI Perjuangan Kukar tidak terganggu dengan PKPU tersebut karena belum final. Bahkan saat final, PDIP Kukar masih mempunyai upaya hukum lainnya yang berlandaskan pada Undang-undang Kepala Daerah.
Ditegaskannya, PDIP Kukar enggan berpolemik dengan sesuatu yang belum jelas terjadi atau berdebat soal aturan. Sebab, aturan berada di ranah peradilan, kemudian semua berhak memiliki asumsi masing-masing. “Kami pun punya asumsi. Kalau mengacu pada UU Kepala Daerah, Edi Damansyah masih bisa maju di Pilkada 2024,” ucapnya.
Hitung-hitungan periode kepemimpinan Edi Damansyah sebenarnya telah tertuang jelas dalam Simposium yang bertajuk “Pelaksanaan Pilkada Tahun 2024” yang digelar Agustus 2023 lalu di Tenggarong Seberang. Hadirkan dalam simposium tersebut, para pakar akademikus hukum seperti Prof. dr. Aswanto, Prof. Dr. Hamzah, dr. Hamdan Zoelva (Virtual), Dr. Heru Widodo yang dimoderati Dr Herdiansyah Hamzah (Bung Castro) serta Rektor Universitas Hasanuddin-Makassar Prof. dr Ir Jamaluddin Jumpa.
Simposium itupun memperjelas lagi alasan MK menolak permohonan Edi Damansyah yang meminta MK memberikan penafsiran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 10/2016 yang belum jelas menerangkan pembatasan masa jabatan kepala daerah: apakah hanya berlaku untuk pejabat definitif atau juga pejabat sementara seperti pelaksana tugas? Kala itu, MK menolak permohonan Edi Damansyah dengan alasan berpegang pada putusan sebelumnya, yaitu Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020. Dalam perkara Nomor 22/PUU-VII/2009, H. Nurdin Basirun, S.Sos, Bupati Karimun, memohon agar masa jabatan sembilan bulannya tidak dihitung sebagai satu periode penuh, yang kemudian dikabulkan oleh MK. Ada juga Drs. Gabriel Manek, M.Si., Bupati Timor Tengah Utara, yang dipastikan belum menjabat satu periode pada kepeimpinan sebelumnya, lantaran belum mencapai dua setengah tahun. MK tidak mempersoalkan masa menjabat Manek sebagai Pelaksana Tugas Bupati dari 10 Desember 2004 sampai 11 Januari 2005, dan hanya menghitung masa menjabat sebagai Bupati definitif.
Sementara, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 67/PUU-XVIII/2020 menolak permohonan Mohammad Kilat Warta Bone yang mempersoalkan masa menjabat Hamim Pou sebagai Pelaksana Tugas Bupati Bone Bolango. Pemohon berargumen bahwa masa menjabat sementara harus dihitung dalam periodisasi jabatan kepala daerah karena pengangkatan Hamim Pou sebagai Bupati definitif telah mengakibatkan masa menjabatnya tidak mencukupi batas minimal 2 setengah tahun. MK menegaskan bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung sebagai satu kali masa jabatan penuh, berdasarkan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009. Dengan demikian, permohonan untuk menghitung masa menjabat sementara sebagai bagian dari periodisasi jabatan ditolak, dan frasa dalam UU 10/2016 tentang masa menjabat kepala daerah tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Lantas, apa artinya dua putusan tersebut untuk kasus Edi Damansyah? Dalam putusan terdahulu, MK membentuk norma baru terkait batas masa menjabat untuk dapat dihitung satu periode, yakni 2 setengah tahun atau lebih. Norma tersebut bersumber dari Pemohon dan Pihak Terkait yang secara keseluruhan mempersoalkan masa menjabat sebagai “Pejabat Definitif”.
Dalam putusannya untuk permohonan Edi, MK tidak menyatakan adanya perbedaan antara masa jabatan “Definitif” dan “Penjabat Sementara”. Ini adalah titik di mana jalan Edi Damansyah dan putusan MK berpotongan. Edi Damansyah di periode sebelumnya menjabat “Pelaksana Tugas”, bukan “Penjabat Sementara”. Dua terminologi ini, meskipun sering dianggap sama, secara teori memiliki perbedaan yang signifikan. Seorang “Pejabat Sementara” diangkat ketika Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sedang cuti kampanye. Sementara itu, “Pelaksana Tugas” adalah Wakil Bupati yang mengisi posisi Bupati ketika sang Bupati Definitif berhalangan sementara.
Dalam eksaminasi Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023, Prof. Dr, Aswanto, S.H., M.Si., D.FM., mengemukakan bahwa berdasarkan Peraturan Perundangundangan maupun dalam praktik, “Pelaksana Tugas Bupati” tidaklah melalui Pelantikan. Berbeda dengan Pejabat Bupati Definitif yang harus melalui Pelantikan oleh Gubernur. Mengacu Pasal 38 PP Nomor 1/2005 sebagaimana dikutip Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, cara menghitung periodisasi menjabat bagi Pejabat Kepala Daerah dihitung dari sejak tanggal pelantikan. “Konsekuensinya, bagaimana cara membatasi masa menjabat Pelaksana Tugas Bupati kalau tidak pernah dilantik,” terang Aswanto yang mantan hakim MK.
Edi Damansyah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Bupati Kukar pada 9 April 2018 sampai 13 Februari 2019 berdasar Surat Penugasan Nomor 131/13/B.PPOD.III/2017 dengan penghitungan mulai berlakunya jabatan tersebut sejak tanggal ditetapkan, bukan tanggal pelantikan. Berbeda halnya dengan pengangkatan Edi sebagai Bupati Definitif pada 14 Februari 2019 sampai 13 Februari 2021 berdasarkan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 131.64-254/2019, yang mana menegaskan mulai berlangsungnya status Pejabat Bupati definitif sejak tanggal pelantikan. Edi menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kukar 2016-2021 selama 10 bulan 3 hari, dan menjadi bupati definitif selama 2 tahun 9 hari, membuatnya belum terhitung sebagai bupati satu periode pada kepemimpinan 2016-2021.
“Status Edi Damansyah sebagai ‘Pelaksana Tugas’ (melaksanakan wewenang Bupati definitif) yang berhalangan, tidak dapat disamakan keadaan hukumnya dengan ‘Pejabat Definitif’,” terang Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. sebagai salah satu eksaminator atas putusan MK tersebut.
Ketua MK periode 2013-2015, Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. yang menjadi eksaminator keempat, menolak anggapan Edi Damansyah dihitung masa menjabatnya sebagai Pejabat Pelaksana Tugas Bupati Kutai Kartanegara, baik secara terpisah maupun digabung dengan masanya menjabat sebagai Bupati Definitif. Sebab, dalam teori ketatanegaraan, jabatan Bupati merupakan jabatan tunggal, bukan jabatan majemuk. Tidak mungkin dalam suatu jabatan Bupati, terdapat dua Pejabat Bupati. Maka, “Pelaksana Tugas” dinamakan pejabat yang menduduki jabatan Bupati secara sementara.
“Berdasarkan UU No. 30/2014 dan UU No. 23/2014, tugas dan kewenangan Wakil Bupati sebagai Pelaksana Tugas Bupati sifatnya terbatas. Tidak dapat mengambil atau membuat keputusan yang sifatnya strategis. Sehingga dengan tugas dan kewenangan yang serba terbatas tersebut tentulah tidak dapat disamakan dengan Pejabat Bupati yang definitif,” terang Hamdan Zoelva.
Sementara, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., M.AP, mengemukakan bahwa Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 dapat diberikan pemaknaan sebagai cara penghitungan periodisasi menjabat Kepala Daerah menggabung antara masa menjabat sebagai Pejabat sementara dengan Pejabat definitif. Sebab, rujukan MK dalam Putusan tersebut adalah Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang di dalamnya tidak ada fakta hukum yang mempersoalkan pembatasan atas masa menjabat sebagai Pelaksana Tugas.
“Oleh karena itu, seharusnya Edi Damansyah memenuhi syarat sebagai Calon Bupati Kutai Kartanegara untuk Pilkada berikutnya,” tegas Hamzah Halim.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023 dan kajian para pakar hukum menegaskan bahwa Edi Damansyah belum menjabat sebagai bupati definitif selama satu periode penuh pada kepemimpinan 2016-2021. Statusnya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) tidak dapat disamakan dengan bupati definitif, baik dalam hal pengangkatan, pelantikan, maupun kewenangan. Oleh karena itu, Edi Damansyah memenuhi syarat untuk kembali maju sebagai calon bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024. (*)