Halokaltim.com – Ketua Fraksi PAN DPRD Kaltim Baharuddin Demmu kembali menyampaikan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kaltim nomor 5 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum dihadapan masyarakat Kelurahan Tanjung Harapan, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), pada Senin (28/6/2021).
Kali ini, Bahar yang juga anggota DPRD Kaltim Dapil Kukar itu menyoroti regulasi penetapan Taman Hutan Raya (Tahura) yang mengancam hak kepemilikan lahan rakyat. Diketahui, lahan Tahura seluas 500 ha mengancam lahan masyarakat di 6 kelurahan.
Namun, penetapan status Tahura baru terbit pada 1982. Tetapi masyarakat sudah lebih dahulu bermukim sejak 1958 jauh sebelum dikeluarkannya regulasi Tahura di Kelurahan Tanjung Harapan. Oleh karenanya, masyarakat sangat berharap bantuan hukum agar mereka dapat dilepaskan dari wilayah Tahura.
“Aktivitas masyarakat sangat dibatasi. Mereka mendapatkan ancaman oleh pengawas dari kehutanan. Karena mereka diancam dipindah,” ungkap Bahar saat berbincang selepas kegiatan.
Oleh karenanya, dari kegiatan sosialisasi Perda ini, Bahar berharap penyelenggaraan bantuan hukum dapat dirasakan oleh masyaralat. Terutama untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih lahan rakyat terhadap status wilayah Tahura.
“Banyak sekali persoalan-persoalan muncul setiap kita sosialisasi. Dimana rakyat kadang tidak bisa melakukan apa-apa. Biaya ke pengadilan kan cukup besar. Harapan saya nanti Pemprov Kaltim serius memperbanyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sampai tingkat kecamatan,” pintanya.
Terkait permasalahan Tahura juga dikeluhkan oleh salah satu warga bernama Umar. Menurutnya, regulasi kawasan Tahura malah tumpang tindih terhadap lahan masyarakat. Ia menyebutkan bahwa ada 20 sertifikat lahan masyarakat yang diklaim wilayah Tahura.
“Posisinya masyarakat menunggu peluang. Masyarakat masih berusaha untuk mengambil haknya. Separuh warga RT 1 masuk di Tahura,” sebut Umar.
Dalam penyampaiannya, akdemisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Haris Retno juga memaparkan solusi terkait permasalahan kawasan Tahura. Menurutnya, penguasaan lahan dari kepemilikan yang lebih dahulu itu seharusnya yang mendapatkan pengakuan.
“Kalau memang masyarakat bisa membuktikan kalau mereka sudah bermukim sebelum adanya kawasan yang sekarang di klaim sebagai Tahura, hak-hak masyarakat tidak boleh diabaikan negara,” jelas Haris Retno dalam penyampaiannya.
Terlebih menurut dirinya, kebijakan Tahura yang merugikan masyarakat itu harus berani dilakukan revisi atau koreksi oleh pemerintah. Ia tidak ingin jika penetapan wilayah Tahura mengabaikan hak-hak rakyat.
“Melihat fakta keberadaan lahan itu sangat penting bagi kehidupan keseharian masyarakat. Tentu langkah revisi regulasi harus cepat dilakukan. Supaya hal-hak hukum masyarakat atas lahan itu benar-benar terlindungi oleh negara,” terangnya. (*)
Penulis : Sukriadi