Sebuah Opini, Refleksi Memperingati Hari Kartini
Perjuangan Kartini untuk meraih hak-hak perempuan di awal tahun 1900an menjadi spirit bagi banyak perempuan Indonesia. Kartini tidak hanya berjuang melawan kolonial Belanda, namun ia juga berjuang melawan adat istiadat bangsanya yang banyak merugikan kaum perempuan. Kegelisahan dan juga protes atas ketidakadilan gender itu, ia tuliskan dalam surat-suratnya kepada sahabatnya, Stella dan Ny. Abendanon.
Oleh : Zulfatun Mahmudah, S.Pd, M.I.Kom, CSRS
Isi surat-surat tersebut akhirnya dirangkum menjadi sebuah buku yang ditulis dalam berbagai bahasa. Buku yang terbit pertama ditulis oleh J.H. Abendanon dalam bahasa Belanda tahun 1911. Judul buku tersebut adalah Door Duisternis tot Lich: Gedachten Over en Voor Het Javaansche van Raden Adjeng Katini yang artinya Dari Kegelapan Menjadi Terang: Pemikiran Tentang dan untuk Bangsa Jawa oleh Raden Ajeng Kartini.
Dalam salah satu suratnya yang terangkum dalam buku tersebut, Kartini menyebutkan “kami sebagai perempuan Jawa hanya boleh mempunyai satu cita-cita, mengimpikan satu impian, yaitu suatu hari kami akan dikawinkan sesuai dengan pilihan orang tua”. Surat tersebut ditulisnya sebagai ungkapan kekecewaan atas tradisi yang sangat membelenggu perempuan kala itu. Kalimat dalam surat tersebut jelas sekali bahwa Kartini menentang tradisi.
Sangat disayangkan jika masih ada perempuan yang memaknai perjuangan Kartini secara sempit. Perjuangan emansipasi Kartini seolah diterjemahkan sebagai perjuangan melawan laki-laki. Pandangan tersebut barangkali tidak sepenuhnya salah. Sebab, realitanya banyak persoalan yang dihadapi perempuan akibat hegemoni patriarki. Namun demikian, pandangan tersebut harus diikuti langkah konkrit agar perempuan bisa menang melawan makhluk yang bernama laki-laki. Menang dalam konteks ini tentu saja bukan dalam arti perlawanan fisik. Perempuan harus mampu merebut minimal mendapatkan peluang sama dalam berbagai profesi yang masih didominasi laki-laki.
Persoalannya adalah ketika perempuan menuding laki-laki sebagai biang diskriminasi, perempuan justru terperangkap pada sebuah emosi. Perempuan lupa pada persoalan yang lebih mendasar, yaitu membekali diri untuk merebut peluang dan eksis sejajar bersama mereka. Perempuan kerap lupa bahwa ada cara yang lebih elegan, bukan sekedar berkutat pada pemikiran laki-laki membuat perempuan termarginalkan.
Fokus pada penyiapan kemampuan baik dari sisi pengetahuan maupun pengalaman, jauh lebih bermanfaat. Dengan bekal kemampuan, perempuan akan lebih memiliki kesempatan untuk melawan hegemoni patriarki tersebut. Ibarat pertempuran, bagaimana kita akan menang melawan musuh kalau kita tidak mempersenjatai diri. Barangkali penggambaran ini terlalu ekstrim. Satu hal yang pasti, perempuan harus bisa menyelesaikan persoalannya sendiri terlebih dahulu sebelum menuding pihak lain sebagai penghambat emansipasi.
Antara Tuntutan dan Realita
Hal yang kadang ironis adalah pemahaman emansipasi sebagai perjuangan melawan hegemoni
laki-laki berimbas pada banyaknya tuntutan yang sekedar mencari persamaan. Setelah tuntutan terpenuhi, lagi-lagi persoalan klasik akan muncul. Perempuan tidak siap, baik dari sisi pengetahuan maupun pengalaman.
Kita ambil contoh kuota 30% di legislatif. Kuota tersebut diperoleh dengan perjuangan bukan hadiah yang begitu saja diberikan. Sayang, setelah perjuangan berhasil, sejumlah parpol bahkan kesulitan mendapatkan figur yang representatif. Padahal jika dilihat dari sisi jumlah, menurut data BPS 2018, prosentase penduduk perempuan di Indonesia mencapai 131,48 juta jiwa sedang laki-laki 132,68 juta jiwa. Artinya jumlah laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh. Namun realitanya memenuhi angka 30% kuota perempuan di legislatif bukan hal mudah.
Perempuan yang memiliki kemampuan dan kemauan masuk Lembaga tersebut jumlahnya terbatas. Alhasil, parpol mengambil sembarang nama yang penting kuota 30% terpenuhi.
Persoalan tidak hanya berhenti pada proses pencalonan. Ketika perempuan sudah masuk di lembaga legislatif, seberapa besar mereka berkontribusi terhadap produk-produk yang dihasilkan lembaga ini untuk kemajuan kaum perempuan. Bekal pengetahuan dan pengalaman yang tidak memadai bisa menempatkan perempuan hanya sebagai pemenuh kuota di legislatif. Kita tidak menutup mata bahwa ada beberapa politisi perempuan yang cukup berperan di dewan. Namun jumlah mereka belum sebanding dengan jumlah perempuan yang notabenenya sebagai pemilih mayoritas.
Tidak hanya di dunia politik. Di industri pertambangan misalnya, tidak ada pembatasan apalagi pelarangan bagi perempuan untuk masuk dunia tersebut. Realitanya, industri ini masih sangat didominasi oleh laki-laki. Bahkan untuk pekerjaan yang ekstrim seperti operator armada tambang, sejumlah perusahaan tambang memberi kesempatan luas bagi perempuan untuk bergabung di dalamnya. Sebuah perusahaan tambang besar di Sangatta, Kalimantan Timur menjadi contoh nyata. Jumlah operator perempuan hanya kisaran 6%, padahal proses perekrutan terbuka untuk semua jenis kelamin. Bahkan jika dilihat dari keseluruhan jumlah karyawan, jumlah perempuan tidak sampai angka 5%.
Selain tidak membekali diri dengan kemampuan memadai, perempuan lebih suka berada pada jalur aman dan nyaman, dibanding harus bergelut dengan sebuah tantangan. Linda Babcock dan Sara Lasever pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Dalam bukunya yang berjudul Woman don’t Ask; Negotiation and the Gender Devide dipaparkan “perempuan dalam hidupnya enggan bernegosiasi, mereka lebih suka menerima sesuatu dibanding harus bertanya sesuatu”.
Perempuan dinilai lebih suka mengambil jalan kolaboratif dibanding konfrontatif. Akibatnya, perempuan kurang mau memperjuangkan hak-haknya meski sebenarnya hak tersebut masih bisa diperjuangkannya.
Dalam sebuah organisasi misalnya, baik organisasi politik maupun sosial yang notabenenya terbuka untuk semua jenis kelamin, perempuan umumnya hanya menjadi pelengkap bukan berada pada posisi kunci. Perempuan dipastikan akan menjadi pemimpin ketika berada di organisasi perempuan. Lebih disayangkan lagi jika keterlibatan perempuan tidak didasari tujuan yang jelas. Dengan kata lain, masuk sebuah organisasi hanya untuk mengisi waktu kosong dan mengejar citra eksistensi diri. Sekilas perempuan terlihat penuh kesibukan, namun belum tentu ada pembelajaran yang dihasilkan. Dengan bahasa lugas bisa dikatakan, perempuan menjadi penggembira dalam berbagai komunitas.
Berkaca dari itu semua, sekarang saatnya perempuan lebih arif memaknai perjuangan emansipasi Kartini. Perjuangan panjang Kartini akan bermakna jika perempuan Indonesia menyiapkan diri dengan kemampuan dan pengetahuan agar bisa eksis di setiap lini kehidupan. Selamat Hari Kartini. (*/ash)