Marak Perundungan dan Ironi Hardiknas: Aksi Bullying Siswa SD di Samarinda, 2 Mei 2025

Ilustrasi stop bullying, oleh Ummu Hannan.

Oleh: Ummu Hannan

 

Halokaltim| Opini – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati oleh bangsa ini di setiap tanggal 2 Mei. Peringatan ini merujuk pada tanggal lahir Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Hardiknas yang diperingati setiap tahunnya mengambil tema yang beragam sesuai dengan tujuan yang ingin diraih dalam dunia pendidikan tanah air.

Pada tahun ini, peringatan Hardiknas mengambil tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Melalui tema yang diusung ini pemerintah berharap terwujud sinergi pada seluruh pihak terkait peningkatan kualitas pendidikan negeri ini. Termasuk juga peringatan Hardiknas yang dilakukan di tingkat daerah, seperti di wilayah Kalimantan Timur.

Melalui peringatan Hardiknas di Kutai Kartanegara (Kukar) misalnya, masih terdapat cukup banyak evaluasi dalam hal peningkatan kualitas pendidikan, seperti tersedianya tenaga pendidik yang memadai dari sisi jumlah maupun kompetensi yang dimiliki. Bertolak belakang dari idealisme yang ingin diusung dari peringatan Hardiknas, kondisi dunia pendidikan kita sesungguhnya tidak sedang baik-baik saja.

Diantara persoalan yang masih menjadi keprihatinan masyarakat luas adalah maraknya kasus bullying atau perundungan di institusi pendidikan. Sebagaimana kasus yang diberitakan sebelumnya yakni pengeroyokan yang melibatkan pelajar di salah satu sekolah dasar (SD) di Samarinda. Ironisnya peristiwa ini terjadi tepat di tanggal peringatan Hardiknas, 2 Mei dan pelakunya adalah siswa yang masih duduk bangku sekolah dasar.

Selain itu juga dilaporkan adanya tindak pengeroyokan di daerah Loa Janan yang dilakukan antar pelajar putri yang diduga masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Sungguh sangat disayangkan dan tidak pantas menjadi contoh atas perbuatan para pelajar semacam ini. Namun mereka ini tidak lebih adalah output dari sistem pendidikan hari ini, maka bagaimana kita membenahinya? Sistem pendidikan hakikatnya tidak hanya bicara soal pemenuhan sarana dan prasarana. Sistem pendidikan berakar pada sebuah sudut pandang yang dipandang benar di tengah masyarakat.

Dalam sudut pandang kapitalisme, dunia pendidikan adalah aset untuk meraih capaian yang bersifat materi. Sehingga tidak salah jika kapitalisme tidak menjadikan aturan agama sebagai pijakan dalam sistem pendidikan maupun pada sistem lainnya. Terlebih kapitalisme berlandaskan pada konsep sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka akan selalu kita dapati adanya output pendidikan yang melakukan penyimpangan dan kerusakan di tengah masyarakat. Agama memang diajarkan namun tidak dijadikan sebagai landasan praktik pengaturan kehidupan. Akhirnya kenakalan remaja menjadi potret suram sistem pendidikan saat ini.

Berbeda dengan kapitalisme, sistem pendidikan dalam Islam sangat mengedepankan landasan agama. Sistem pendidikan Islam tegak di atas asas akidah Islam yang menjadikan seluruh aktifitas kehidupan masyarakat merujuk kepada perintah Allah swt. Akidah Islam menjadikan sistem pendidikan tidak hanya menciptakan output yang menguasai ilmu duniawi, seperti sains dan teknologi, tetapi juga kokoh secara keimanan dan ketakwaan. Pemahaman terhadap pengetahuan Islam menjadi modal penting bagi generasi sebagai modal mereka sebagai agen perubahan di tengah masyarakat. Pemuda yang lahir dari sistem pendidikan Islam kelak menjadi pelopor kebaikan, pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa serta mengisi peradaban dengan banyak karya yang bermanfaat.

Keseluruhan sistem Islam tidak hanya terpancar dari satu sisi pendidikan saja. Sebab, sistem Islam merupakan bentuk penerapan yang bersifat integral, saling terkait satu dengan lainnya. Sistem kehidupan Islam hanya mungkin terwujud dengan penerapan negara dan kepemimpinan yang satu untuk seluruh kaum muslimin. Dari model kepemimpinan semacam ini, khalifah akan bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, sebagaimana dalam salah satu hadits Nabi saw bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Menurut Imam Suyuthi lafaz raa’in berarti pemimpin, yakni penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dana pa saja yang di bawah pengawasannya.

Oleh karena itu, perbaikan dalam dunia pendidikan tak sekadar diraih melalui peringatan hari pendidikan. Perbaikan ini haruslah bersifat mendasar dan menyeluruh. Ironi hari pendidikan tentu tak perlu terjadi jika seluruh lapisan masyarakat menyadari bahwa menyandarkan sistem pendidikan pada konsep kapitalisme hanya akan menimbulkan kerusakan generasi yang semakin parah.

Sudah saatnya kita beralih pada aturan kehidupan yang bersumber pada Dzat yang Maha Benar dan terbukti melahirkan output pendidikan berkualitas baik, dalam capaian dunia dan berorientasi akhirat, itulah sistem Islam. Allahu’alam.