Oleh: Ummu Hannan
Halokaltim|Opini – Musibah banjir kembali melanda wilayah Kalimantan Timur. Kali ini banjir menimpa permukiman warga di daerah Kabupaten Berau. Sedikitnya terdapat sembilan kampung di empat kecamatan yang terendam banjir. Selain korban materi, banjir di Kabupaten Berau ini juga menelan korban jiba yakni dua orang lansia yang berasal dari Kampung Tumbit Dayak, Kecamatan Sambaliung (news.detik.com, 27/3/2025). Ketinggian air yang menggenangi permukiman warga diperkirakan setinggi 1 hingga 3 meter dan telah merendam ratusan rumah warga yang berada di sekitarnya. Tingginya curah hujan serta sistem drainase yang buruk seringkali dijadikan penyebab klasik setiap kali musibah banjir terjadi. Namun tidakkah kita menginginkan persoalan ini segera berakhir dan banjir tidak lagi menjadi musibah musiman?
Ada beberapa faktor yang melatari terjadinya banjir. Diantara faktor penyebab banjir adalah penyumbatan saluran air oleh sampah, penebangan hutan liar, adanya pembangunan di daerah resapan air. Mengapa curah hujan tinggi tidak bisa kita sebut sebagai faktor utama penyebab banjr? Itu dikarenakan curah hujan tidak akan membawa dampak kerugian apapun selama terdapat saluran air yang memadai serta masih lestarinya daerah resapan air di lingkungan sekitar. Akan berbeda jika curah hujan tidak terserap oleh alam sehingga menyebabkan luapan air yang tak terkendali. Sebagaimana kita dapati hari ini daerah resapan air yang biasanya diperoleh dari kawasan hutan mulai berkurang prosentasenya. Tidak sedikit hutan yang digunduli dan beralih fungsi menjadi daerah industri atau permukiman. Jika sudah demikian tidak ada lagi penyerapan alami terhadap debit air hujan yang tinggi.
Penebangan hutan yang beralih menjadi kawasan industri atau permukiman merupakan faktor pencetus terbesar terjadinya banjir. Hutan memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan aneka ragam hayati yang ada dalamnya. Jika hutan dirusak atau dialihkan fungsinya maka otomatis akan berdampak pada kehidupan sekitarnya, termasuk manusia. Meski di satu sisi pembangunan menjadi ikon yang dedungkan untuk mewujudkan kemajuan, akan tetapi pembangunan yang berpijak pada kepentingan kapitalistik jelas merugikan. Contohnya adalah ketika pembangunan fisik seperti infrastruktur difokuskan pada kawasan yang termasuk daerah resapan air. Meski memiliki tujuan membangun tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, namun di setiap pembangunan fisik haruslah tetap mempertimbangkan pengaruhnya pada lingkungan.
Dalam sudut pandang kapitalisme, pembangunan fisik berlandaskan pada tujuan materi. Artinya, kapitalisme menjadikan capaian materi sebagai ukuran keberhasilan dalam pembangunan. Pembangunan tempat hiburan dan kawasan wisata, permukiman, atau infrastruktur lainnya tidak jarang dibangun di atas lahan hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Pembangunan fisik mau tidak mau mengharuskan adanya penggundulan lahan terlebih dahulu, Meski dalam beberapa kasus ada upaya penghijauan kembali yang dilakukan oleh para pengembang proyek. Akan tetapi, upaya penghijauan atau reboisasi tentu tidak akan membawa hasil dalam waktu singkat sebab waktu tanamnya dan pemulihan hutan pasca penggundulan membutuhkan waktu antara 10 hingga 25 tahun.
Oleh karena itu, pembangunan kapitalistik merupakan akar masalah dari berulangnya musibah banjir. Pembangunan bernafaskan kapitaslitik telah menjauhkan nilai-nilai penjagaan lingkungan bahkan cenderung berdampak kerusakan. Pembangunan semacam ini tidak boleh dilanggengkan karena hanya akan melahirkan kerusakan lingkungan. Bertolak dari persoalan ini, syariat Islam hadir sebagai pemberi solusi bagi kehidupan manusia. Dalam syariat Islam penanganan atas masalah banjir dilakukan sejak dari upaya pencegahannya. Khalifah akan mengerahkan aparaturnya untuk memaksimalkan mitigasi bencana banjir, baik sebelum maupun setelah terjadinya musibah. Khalifah juga memberlakukan pembangunan yang mengacu pada pelestarian lingkungan. Negara akan menjaga keberlangsungan daerah resapan air sehingga keberadaannya tidak boleh diganggu oleh apapun meski berstatus pembangunan fisik. Selain itu, Khalifah akan sangat berhati-hati dalam melakukan alih fungsi hutan, sekiranya mendesak, dengan melibatkan para ahli lingkungan agar tidak memunculkan kerusakan lingkungan.
Demikianlah, bagaimana banjir yang selama ini lekat sebagai musibah musiman seharusnya dapat diatasi sejak dini. Persoalan banjir membutuhkan keseriusan seluruh pihak khususnya para pemangku kebijakan atau penguasa. Syariat Islam telah meletakkan penguasa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, sehingga Nabi Saw bersabda yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR Bukhari).
Pembangunan kapitalistik terbukti telah membawa dampak kerusakan bagi lingkungan dan manusia yang hidup di dalamnya. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya pengaturan kehidupan yang bersumber dari aturan Pencipta agar kita terhindar dari segala bentuk kerusakan, itulah syariat Islam. Allahu’alam.