Halokaltim.com – Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak yang diduga jatuh di kawasan perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1/2021), berusia 26 tahun. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Suryanto Cahyono.
OPINI OLEH : Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Kendati demikian, Suryanto mengatakan, usia sejatinya tak berpengaruh pada kelaikan pesawat untuk terbang selama pesawat tersebut dirawat sesuai dengan aturan. (Kompas.com, 10/1/2021)
Jatuhnya pesawat dengan nomor penerbangan SJ-182 itu kemudian mengundang pertanyaan berapa usia pesawat tersebut dan apakah masih laik terbang?
Merujuk Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) RI No. 115/2020 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga, batas usia Sriwijaya SJ-182 lebih tua enam tahun dari batasan Kemenhub.
Praktisi Hukum, Husendro mengatakan, setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran. Hal itu tertuang dalam Pasal 24 UU RI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dikatakan, salah satu syarat pendaftaran pesawat udara tersebut harus memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Seperti tertuang dalam Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Penerbangan tahun 2009.
Kemudian Permenhub PM 160/2015 itu diubah dengan PM 7 Tahun 2016, khusus hanya mengubah tentang pesawat kargo, untuk kategori transportasi penumpang normal tetap batas usia pesawatnya. “Lalu, PM 160/2015 dan PM 7/2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan PM No. 155/2016 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga,” jelas Husendro.
Berdasarkan PM 155/2016 tersebut, kata Husendro, usia batas pesawat untuk pendaftaran pertama berubah menjadi maksimum 15 tahun dan non pendaftaran pertama menjadi 35 tahun. Dengan alasan meningkatkan investasi di bidang penerbangan, PM 155/2016 dicabut melalui PM 27 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 13 Mei 2020.
“Dengan kata lain tidak ada lagi pembatasan batas usia pesawat untuk jenis transportasi penumpang atau niaga, Padahal UU Penerbangan 2009 mengamanatkan adanya batas usia pesawat yang ditentukan Menteri agar dapat beroperasi di Indonesia,” terangnya. (Askara.co, 10/1/2021)
Perubahan regulasi demi memudahkan investasi telah mencabut sisi kemanusiaan pada diri pemilik kebijakan negeri. Ia telah menjadikan keselamatan dan keamanan jiwa dinomorduakan demi kepentingan ekonomi dan pihak investor. Inilah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh rakyat akibat penerapan sistem fasad, Kapitalisme sekuler.
Dalam sistem Kapitalisme, transportasi hanyalah produk industri yang dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan materi sebanyak mungkin. Transportasi menjadi aset yang diswastanisasi dan berfungsi bisnis, bukan lagi sebagai fungsi pelayanan publik oleh pemerintah/ negara yang aman dan tidak mengancam nyawa warga negara. Dalam hal ini, negara hanya sebagai fasilitator dengan kacamata komersial, bukan pengendali utama.
Lantas, bagaimana dengan Islam? Bagaimana sejatinya gambaran sistem transportasi dalam sistem Islam?
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab utama negara, bukan diserahkan kepada swasta. Mindset negara Islam dalam menyediakan layanan transportasi yang aman dan terjangkau oleh warga negaranya adalah pelayanan negara yang sepenuh hati.
Ketika kepemimpinan Khalifah Umar bin al Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara, beliau pernah berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”
Kebijakan transportasi yang aman dan nyaman dalam sistem Islam berlangsung hingga abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah.
Kedua, perencanaan wilayah dan tata kota negara Islam dilakukan sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan dibangun masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, warga negara tercukupi sebagian besar kebutuhannya dan tak membutuhkan akses terlalu banyak ke luar kota atau luar tempat tinggalnya karena hampir semua kebutuhannya tercukupi dan dapat dijangkau di tempat yang dekat tempat tinggalnya. Kemacetan dan masalah lalu lintas lainnya juga bisa diminimalisasi.
Ketiga, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam membangun sarana dan prasarana transportasi. Contohnya untuk transportasi udara. Ilmuwan muslim seperti Abbas Ibnu Firnas dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arab, “Ibn Firnas was the First man in history to make a scientific attempt at flying.”
Selain itu, kaum muslimin telah menggunakan jenis kuda dan unta untuk menempuh perjalanan, untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.
Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya. Pada abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.
Keempat, penerapan sistem ekonomi Islam yang sinergi dengan sistem transportasi. Sistem Islam kafah memberikan jaminan pembangunan ekonomi yang adil dan meminimalkan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Secara langsung maupun tidak, sistem ekonomi akan mempengaruhi kebijakan transportasi yang ada di dalam sebuah negara. (*)