Opini  

Dampak Hoaxer Covid

Opini Oleh : Uce Prasetyo (Kutim)

“JANGAN ke rumah sakit, nanti dicovidkan”. “RS mengcovid covid orang, untuk dapat anggaran banyak”. “Sakit jantung, diabetes, kok di Covid kan RS”. Itu sering tertulis di medsos, terucap di obrolan dari warung ke warung, atau gosip antar teman.

Dampaknya apa? Banyak masyarakat yang percaya itu. Sehingga ketika sakit. Baik Covid atau bukan, mereka menghindar berobat ke RS.

Saya telah mengalami. Beberapa kenalan saya, menghubungi, minta tolong untuk dapat kamar. Untuk keluarganya yang sakit. Ketika saya sudah upayakan, bed nya di ada kan. Yang sakit tetap tak mau ke RS.

Karena tanpa pengobatan medis. Dan memang virusnya lagi ganas, Sakitnya berlanjut jadi parah dan ketika sudah tidak tahan, baru datang ke RS. Akhirnya tak tertolong juga. Kejadian seperti ini, banyak kali.

Akhir akhir ini, saat lonjakan serangan Covid. Banyak yang datang saat sudah berat. Mayoritas mereka akhirnya meninggal. Atau di tolak oleh beberapa RS, dengan alasan tempat tidur (kapasitas nya) penuh.

Yang ditolak, di bawa pulang kembali, walau sesak luar biasa, dan berakhir pindah ke alam lain.

Apakah betul, RS penuh? Bisa iya, dalam arti sebenarnya, sudah tidak ada bed kosong. Terkadang bed nya masih ada tapi kapasitas sumber daya lainnya sudah penuh. Yaitu, ketika perawat nya juga banyak yang tumbang, atau oksigennya tidak cukup, sangat terbatas, dengan tidak ada kepastian, kedatangan supllay oksigen.

Merawat pasien yang tak percaya Covid dan dalam kondisi berat itu. Beresiko tinggi. Serta berpotensi menghabiskan sumber daya oksigen yang sangat terbatas.

Covid berat itu perlu oksigen 15 – 30 liter permenit. Sebagai gambaran, satu orang yang mendapatkan oksigen 15 liter per menit. Dengan tabung besar setinggi anak SMA itu. Satu tabung habis sekitar satu jam. Sehari perlu sekitar 20 tabung hanya untuk satu orang, penderita Covid berat.

Bagaimana bila perlu 30 liter per menit? Ya tentu kebutuhan oksigen nya, lebih banyak lagi.

Pasien Covid sedang, kebutuhan oksigen nya, bervariasi dari 1 – 6 liter per menit.

Dapat di katakan perbandingan, covid sedang dan berat. Oksigen untuk satu orang berat, bisa untuk 5 – 12 pasien sedang.

Maka, ketika pasien mau masuk, sudah dalam keadaan berat. Apalagi pasien dan keluarganya tidak percaya adanya Covid. Ini dilematis.

Klau sumber daya nya ada dan cukup. Bed, dokter, perawat, obat dan oksigen. Mudah bikin keputusan, pasti di terima dan di rawat.

Tapi bila terbatas. Dengan ketidakpastian pasokan. Serta antrian yang mau masuk RS banyak. Maka :

Pertama : RS lebih memilih untuk menggunakan, untuk berusaha menyelamatkan, pasien yang sudah di rawat di dalam, apapun kondisinya, Karena itu sudah jadi tanggung jawabnya.

Kedua : RS akan berusaha menggunakan sumber daya yang ada, untuk bisa sebagai sarana, menyelamatkan pasien sebanyak mungkin. Artinya bila oksigen yang ada, bisa di gunakan untuk merawat 12 orang pasien sedang, pasien tersebut bisa terhindar jadi Covid berat sehingga pasien punya potensi lebih banyak selamat. Maka RS akan menghindari menerima pasien 1 atau 2 yang berat. Apapun pangkatnya, seberapapun banyak duitnya. Bisa mengalami, penolakan karena hal ini.

Terlihat kejam, tapi Terpaksa. Ini bukan soal bayaran, bukan soal duit. Duit satu milyar pun, ketika pasokan oksigen nya tak ada. Maka duit itu tak ada nilainya, tak bisa di gunakan membeli barang yang tak ada.

Ini adalah pengalaman nyata. Orang tua saya sendiri mengalami, tertolak oleh 7 RS. Akhirnya meninggal. Dan saya sendiri, ternyata juga harus menyaksikan. Menolak puluhan orang karena alasan diatas.

Melayani Covid, termasuk bayaran nya. Tidak seindah hayalan, para netizer yang pemahaman setengah setengah.

Betulkah di Sangatta, RS mencovid Covid kan? Mustahil, untuk pasien Covid bisa dirawat di RS minimal harus bergejala sedang. Yaitu antigen positif, demam, diare, X Ray menunjukkan tanda radang paru. Bila antigen positif, tapi tidak bergejala, tetap di rawat. Pasti tidak lolos verivikasi dan tidak akan di bayar. Walaupun sudah merawat berhari hari.

Lalu diswap lagi untuk PCR. Dan di Sangatta, tak ada satupun RS yang punya PCR sendiri. Untuk RS swasta, swap nya harus dikirim ke dinas kesehatan. Lalu dikirim ke laboratorium lain yang terdaftar, untuk menentukan konfirmasi positif atau negatif nya.

Yang menentukan konfirmasi, positif dan negatif nya adalah dinas kesehatan atau laboratorium yang ditunjuk tersebut. Bukan RS itu sendiri.

Bila negatif, ya selanjutnya dipindah. Tak bisa ditagihkan lagi. Pun seandainya positif, bergejala jelas, sesaknya jelas. Sudah di rawat berhari hari, akhirnya sembuh. Apakah pasti di bayar. Belum tentu. Harus komplit, lengkap dokumen persyaratan nya. Klau tak lengkap di kembalikan. Untuk di lengkapi, kapan? Entah kapan. Tak ada waktu yg pasti.

Lalu klau sudah lengkap, di akuin sah, bisa langsung di bayar. Begitu teori nya. Praktek nya, entah, entah 3 bulan, 6 bulan, setahun atau lebih baru bisa di bayar.

Jadi, bagi hoaxer yang pengetahuannya setengah setengah. Bertobatlah. Postingan anda atau gosip anda. Bisa dan telah membunuh banyak orang.

Itu cerita tidak berhenti ketika, RS sedang penuh. Ketika RS sudah mulai banyak bed yang kosong, seperti di Jakarta sekarang. Ternyata, masih banyak korban korban hoaxer yang meninggal saat ISOMAN di rumah. Karena saking percaya dan ampuhnya postingan para hoaxer.

Untuk itu. Bila bergejala, segeralah berobat. Yang ringan ke puskesmas.
Yang gejalanya sedang, segera ke RS.

Jangan tunggu jadi BERAT.
Jangan tunggu berpotensi di tolak RS.
Jangan tunggu walau di terima RS, tapi tak bisa juga tertolong, karena memang sudah BERAT…

Tragis memang…. karena itu sudahilah… (*)