Opini  

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Mampukah Tuntas Tanpa Islam?

Opini Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Pendidik)

BERBAGAI permasalahan perempuan dan anak belum kunjung usai. Terutama masalah kekerasan terhadap perempuan. Mulai dari kekerasan secara fisik maupun seksual, peningkatan kasus ini terus terjadi, termasuk di Kalimantan Timur. Sejak 2019 hingga saat ini cukup tinggi, yakni mencapai 1.386 aduan dan ditindaklanjuti. Tahun 2019 sebanyak 629 pengaduan, tahun 2020 ada 612 pengaduan, dan hingga 11 Juni 2021 sebanyak 145 aduan. Sebuah angka yang tidak kecil meski diwarnai dengan masa pandemi. (Antara News)

Meningkatnya kasus ini membuat Pemerintah pun berusaha mencari solusi. Mulai pencegahan hingga pendampingan korban telah diupayakan, tapi belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan. Terbaru, DKP3A Kaltim membuat Pelatihan Pendampingan Korban Kekerasan bagi Lembaga Layanan. Sekretaris DKP3A Kaltim Eka Wahyuni mengatakan bahwa pelatihan bagi pendamping tersebut sangat penting agar mereka memahami tugas dan fungsinya saat menangani kasus tersebut.

Tentunya kita mesti mencari akar masalah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak kunjung berakhir. Kekerasan yang dilakukan bukan terjadi tanpa pemikiran, pasti ada pemikiran yang mendasari si pelaku. Dan apabila hal ini dilakukan banyak orang, berarti bukan hanya faktor individu tapi sudah melebar faktor sistem yang melingkupi kehidupan masyarakat. Sehingga, tidak disolusikan hanya sekadar terhadap individu.

Kehidupan yang dilandasi dengan sebuah paham yang mengingkari peran agama dalam mengatur kehidupan, yakni Sekulerisme, menjadikan kerusakan justru menjadi masif. Saat pandemi saja, masyarakat justru menoreh ‘prestasi’ berupa angka kekerasan yang cukup tinggi. Tanpa memandang baik-buruk, halal-haram, masyarakat bebas memperlakukan perempuan dan anak sekehendak mereka. Ini menunjukkan semua mengerucut dari sudut pandang terhadap perempuan dan anak itu sendiri.

Sekularisme yang memegang teguh kebebasan memandang bahwa perempuan dan anak adalah objek yang bebas untuk diperlakukan oleh manusia. Pemikiran ini menjadi qa’idah fikriyyah masyarakat saat ini. Sehingga demikian mudah melakukan KDRT hingga kejahatan seksual dan menabrak norma-norma yang ada, termasuk norma agama. Jika pemikiran beracun ini dibiarkan oleh negara untuk diadopsi masyarakat, maka negara harus bersiap kasus kekerasan akan jadi kasus tahunan yang menghiasi ragam problematika di negeri ini.

Negara dengan asas sekuler ini pun gagal mencegah kasus kekerasan itu terjadi. Upaya preventif sebatas edukasi, dan itu pun tidak mengembalikan pada pemikiran mendasar (aqidah) umat. Sehingga wajar, edukasi hanya dimaknai informasi tanpa berpengaruh pada pemikiran. Selain itu, negara justru lebih fokus pada kuratif yakni pendampingan dan pelaporan, padahal hal yang urgen adalah pencegahan kekerasan itu sendiri, regulasi yang shahih, penegakkan hukum yang adil, sanksi yang membuat pelaku jera tanpa menyepelekan pendampingan terhadap korban itu sendiri.

Akan menjadi fatal apabila negara justru menyelesaikan persoalan ini dengan wadah pemikiran feminisme yang mengusung kesetaraan gender, hakikatnya sama memisahkan agama dari kehidupan. Sejatinya feminisme dan produk hukumnya hanya akan merusak tatanan agama.

Doktrin sentral yang dibawa oleh kaum feminis adalah equality (persamaan). Elemen ini merupakan salah satu unsur pandangan Barat. Doktrin equality tersebut lah yang mewarnai ide Kesamaan dan Kesetaraan Gender ini. Justru ide ini membuat perempuan makin liberal dan merusak keluarga muslim. Kita tinggal menunggu saja angka perceraian makin meningkat, rumah tangga hancur, dan generasi makin liberal.

Padahal jika mau dikaji lebih mendalam, Islam sebagai ideologi memiliki pandangan khas tentang perempuan. Dalam Islam, perempuan memiliki posisi yang dimuliakan bukan untuk disetarakan layaknya pria atau diberdayakan menjadi budak para kapitalis. Islam justru menyematkan peran mulia ke tangan kaum hawa.

Dalam Islam, diperlukan tiga pilar yang mendukung terwujudnya benteng terbaik untuk kaum hawa. Pertama ketakwaan individu, kedua kontrol sosial dan ketiga penegakan hukum oleh negara.

Ketakwaan individu ini menjadikan setiap muslim senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam. Keimanan dan ketaqwaan setiap individu menjadikannya faham akan batasan aurat, batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, peran suami kepada istri dan anaknya, dan sebagainya.

Kontrol masyarakat pun harus dibangun untuk mencegah tindakan kekerasan seksual ini. Dakwah atau amar ma’ruf nahi Munkar merupakan kewajiban dalam Islam yang harus dilaksanakan sebagai bentuk pencegahan. Setiap muslim akan menjadi pengawas tindakan muslim lainnya disekitarnya, apakah tindakan tersebut sesuai dengan syariat atau justru melanggar syariat.

Secara kuratif, Islam pun memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak. Yakni ancaman hukuman ta’zir oleh Khalifah. Hanya saja, sinergi tiga pilar tersebut hanya bisa kita temui dalam negara yang menerapkan Islam dengan sempurna yang melindungi rakyatnya dan menjaga kehormatan para perempuan.

Bukti bahwa peradaban Islam berhasil menjadi benteng pelindung hakiki bagi kaum hawa bukanlah hoax semata. Salah satu kisah di masa peradaban Islam yang menjaga kehormatan perempuan yaitu kisah yang terjadi pada masa Khalifah Mu’tashim billah. Khalifah berhasil mengalahkan dan memukul mundur orang-orang kafir dalam satu kota. Pemicunya hanya karena masalah yang mungkin kita anggap saat ini adalah masalah sepele. Yaitu, ada seorang wanita muslimah diganggu dan dilecehkan kehormatannya oleh orang kafir.

Kainnya dikaitkan ke paku, sehingga ketika berdiri terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu berteriak memanggil nama khalifah Al-Mu’tashim billah dengan lafadz yang cukup terkenal “waa mu’tashimaah!” maka Khalifah Al-Mu’tashim pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan menghancurkan orang kafir yang ada di kota tersebut.

Gambaran kehidupan seperti itu hanya terjadi ketika Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara bukan hanya sekedar jadi agama ritual yang hanya dipakai ketika beribadah saja. Sebab Islam bukan hanya untuk individu apalagi sebagian kelompok. Tapi Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyyah.

Maka dengan penerapan Islam yang sempurna, keberkahan hidup akan diraih dan segala masalah dapat diselesaikan termasuk persoalan kekerasan terhadap perempuan ini. Mungkinkah kekerasan bisa dihentikan tuntas tanpa Islam? Jawabannya tidak mungkin, karena hanya Islam satu-satunya sistem yang benar dan layak untuk mengatur dan menyelesaikan problematika manusia. Semoga segera terwujud benteng hakiki bagi kaum hawa, yakni tegaknya syariat Islam kaffah dalam naungan khilafah. Wallahu’alam. (*)