Opini  

Batal Berangkat Haji, Tanggung Jawab Siapa?

Opini Oleh : Hendika Putri, SE (Pendidik)

PEMERINTAH memutuskan untuk kembali tidak mengirim jemaah pada ibadah haji 2021. Keputusan yang diambil itu merupakan yang kedua kalinya berturut-turut sejak 2020. (CNN Indonesia)

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan sejumlah pertimbangan pemerintah sebelum memutuskan tidak memberangkatkan Jemaah Haji ke Tanah Suci. Pertimbangan itu, di antaranya, lantaran pandemi Covid-19 yang belum berlalu di berbagai belahan dunia, termasuk Saudi, sehingga dapat mengancam keselamatan jemaah. Dengan kondisi tersebut, ia mengatakan pemerintah memiliki tanggung jawab menjaga dan melindungi warga negara Indonesia.

Pertimbangan selanjutnya, Yaqut menyebut pemerintah Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak dugaan, ada apa di balik itu semua? Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, tentu hal demikian tak sesuai dengan kebijakan “new normal” yang akan diberlakukan.

Kebijakan “New Normal” harusnya juga berlaku pada Bandara, mal, pasar, dan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi kerumunan, tapi dengan alasan demi stabilitas perekonomian negara tempat-tempat tersebut diaktifkan asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan nyawa.
Pembatalan Haji inipun menuai pro kontra dikalangan Tokoh, Umat,dan jama’ah Haji.

Sebagaimana dilansir dalam nasional.sindonews.com, Ketua majelis syuro PKS, Hidayat Nur Wahid menyayangkan karena upaya pamungkas belum dilakukan yaitu komunikasi dan diplomasi tingkat kepala negara, antara Presiden Jokowi dengan Raja Salman bin Abdul Aziz terkait kuota haji mengingat kedekatan kedua kepala negara itu. “Kami sudah ingatkan sejak awal raker dengan Menag Yaqut Chalil Qoumas soal pentingnya lobi diplomasi kelas tinggi untuk buka peluang pemberangkatan calon haji dari Indonesia, agar Presiden Jokowi berkomunikasi langsung dengan Raja Salman, sebagaimana yang dilakukan oleh PM Malaysia, Muhyidin,” kata HNW dalam keterangannya, Jumat (4/6/2021).

Batal Berangkat Haji, Tanggung Jawab Siapa?

Indonesia adalah negeri dengan muslim mayoritas. Warga negara Indonesia yang muslim dan mampu akan terdorong untuk melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima ini. Mereka pun dan akan berusaha mengupayakan serta mempersiapkannya sebaik mungkin.

Namun, dengan kondisi saat ini sehingga terjadi pembatalan pemberangkatan haji, patut kita pertanyakan bagaimana komitmen Pemerintah dan negara Indonesia dalam menjamin pelaksanaan ibadah utama tiap-tiap warga negaranya?

Kalau alasannya terkait belum ada nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji sebagaimana tersebut di atas, sesulit apa hal itu diupayakan? Bukankah seharusnya hal itu bisa diupayakan jauh-jauh hari sebelumnya, apalagi di era digital yang mana akses komunikasi sangat terbuka lebar dan mudah?

Jika negara serius mengurus rakyatnya, untuk ibadah yang pengurusannya rutin dilakukan negara setahun sekali ini, sebenarnya pemerintah memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari sebelumnya, termasuk mengatasi hambatan jika ada. Jangan sampai rakyat berkali-kali kecewa kepada pemimpinnya karena alasan yang seharusnya masih bisa diupayakan. Maka, komitmen Pemerintah sangat patut untuk kita pertanyakan kembali. Bagaimana peran negara menjamin kewajiban ibadah haji bagi warga negaranya?

Sistem Islam Mengatur Pelaksanaan Ibadah
Allah Swt. berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97).

Sistem pemerintahan Islam itu indah karena menjaga betul pelaksanaan syariat Islam tiap warga negaranya. Ibadah haji sebagai bagian dari rukun Islam tentu menjadi prioritas yang akan dijaga pelaksanaannya oleh negara. Dengan kata lain, negara akan melakukan upaya maksimal untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyat. Jika pun ada hambatan terkait pemberangkatan jemaah haji, negara akan berusaha menghilangkan hambatan tersebut.

Selain urusan ibadah rakyat, sistem Islam mewajibkan pemimpin negara untuk sungguh-sungguh mengurusi hajat hidup rakyatnya (raa’in), mulai dari urusan pangan, sandang, dan papan. Negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, karena itu adalah amanah besar pemimpin yang akan dihisab oleh Allah Swt kelak di hari kiamat.

Di dalam hadis disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Pada masa negara Khilafah Islamiah, terdapat beragam sarana dan bantuan yang disiapkan negara agar sempurna kewajiban haji warga negaranya. Bahkan negara Khilafah membentuk departemen khusus yang menangani ibadah haji dan segala hal yang dibutuhkan, juga membangun sarana prasarana transportasi, baik melalui jalur darat, laut, dan udara.

Misalnya saja Pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, pernah dibangun sarana transportasi massal dari Istanbul hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Tidak perlu ada visa haji pada masa Khilafah, sehingga seluruh jemaah haji dari berbagai negeri muslim dalam wilayah pemerintahan Islam bisa keluar masuk Makkah—Madinah dengan mudah tanpa visa. Visa hanya untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir hukman (terkait perjanjian dengan Khilafah) atau negara kafir fi’lan (yang memusuhi Khilafah secara terang-terangan).

Pada masa Khilafah Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Negara juga menyediakan logistik dan dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal.
Hal teknis lainnya, negara Khilafah akan mengatur kuota jemaah haji (dan umrah) dan memprioritaskan jemaah yang memang sudah memenuhi syarat dan mampu.

Pengaturan yang rapi, serta kesadaran penuh negara dalam melaksanakan tanggung jawabnya, maka ibadah haji dalam sistem Islam dapat terlaksana setiap tahunnya. Dari berbagai sumber. Wallahu a’lam bish-shawwab. (*)