Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) kembali menjadi pembicaraan setelah sekian lama fakum sejak pandemi yang disebabkan oleh Virus Covid 19 melanda. Walaupun ada yang kontra untuk melanjutkan proyek IKN ini, dan meminta pemerintah untuk lebih fokus menyelesaikan pandemi, namun pemerintah tetap akan melanjutkan proyek IKN dengan klaim justru pembangunan ini akan meningkatkan gairah ekonomi daerah.
OPINI OLEH : Endang Sri Indah R (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Suharso Monoarfa dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, menyebut bahwa peletakan batu pertama IKN dilakukan tahun ini di Penajam Paser Utara. Gubernur Kaltim, Isran Noor, juga membeberkan peletakan batu pertama alias ground breaking tersebut dilakukan saat Ramadhan ini. Dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam menanggapi perencanaan proyek pembangunan IKN, wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi, mengebut kesiapan infrastruktur pendukung IKN. Beberapa di antaranya pelebaran dan pembangunan jalan. Begitu juga pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur lain. (kaltimkece.id, 29/03/2021)
Tentunya hal ini membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Disebutkan oleh Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan total dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) mencapai Rp466 triliun.
Kebutuhan dana sekitar 466 triliun rupiah menurut Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro akan dibagi empat sumber mulai dari APBN, kerjasama pemerintah dengan badan Usaha (KPBU), proyek BUMN , hingga proyek swasta. Dilihat dari skema pembiayaan memang meniscayakan asing untuk turut hadir dalam investasi. Bahkan, Jokowi menerima dengan tangan terbuka bagi negara-negara dunia yang ingin berinvestasi dalam mega proyek ini.
Jeratan Investasi Asing
Proyek pembangunan IKN menjadi magnet bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Kaltim. Sepanjang 2020, tercatat ada tiga investor asing berminat membangun infrastruktur di Benua Etam. Yakni, investor dari Tiongkok, Amerika Serikat, dan Australia.
Investor Tiongkok berencana melakukan investasi di bidang infrastruktur. Seperti kereta api, jalan tol, naturalisasi Sungai Karang Mumus (SKM) di Samarinda, hingga rencana pembangunan bendungan.
Sedangkan, perusahaan asal Australia, Fortescue Mefals Group (FMG) tertarik untuk melakukan investasi hydro power atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)di Kaltim. Mereka melihat potensi Sungai Mahakam yang cukup besar untuk pengembangan PLTA.
Investor lainnya berasal dari Amerika Serikat. Yang berencana pembangunan pabrik pengolahan batu bara menjadi methanol atau coal to methanol (CTM) di Kecamatan Bengalon, Kutim. Perusahaan gas asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc menggandeng PT Bakrie Capital Indonesia dan PT Ithaca Resources untuk membangun CTM.
Tidak ada Makan Siang Gratis
Sepintas memang sepertinya tidak ada yang salah. Negeri asing menanamkan modalnya di negeri kita. Akan tetapi, jika kita mau mencermatinya secara mendalam, justru ada bahaya yang sangat besar mengancam negeri ini!
Terbukanya peluang investasi asing akan semakin memperteguh posisi negara kita yang amat bergantung pada asing dan aseng.
Ketergantungan ini meniscayakan mudahnya asing dan aseng menguasai dan mengintervensi negara ini di berbagai kebijakan. Ditambah, sistem kapitalisme tentu mematenkan ketergantungan negara pengikut pada negara kafir penjajah di berbagai aspek kehidupan.
Padahal, Allah telah berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin.” (TQS. an-Nisa’ [4]: 141). Ayat ini seharusnya menjadikan kita sadar bahwa haram bagi umat Islam memberikan jalan bagi asing maupun aseng untuk menguasai, apalagi negeri muslim bergantung pada mereka. Umat Islam harus mandiri, hanya saja kemandirian ini akan terwujud ketika memang negara kita berlandaskan pada ideologi islam yang menyeluruh dan sempurna.
Dalam sejarah dunia, Islam telah menorehkan sebuah pemindahan ibukota dengan penuh kemandirian tanpa bantuan negara lain. Ketika Ibu Kota berada di Baghdad, kota tersebut dibangun secara besar-besaran dan dijadikan pusat pemerintahan oleh Khalifah Abbasiyyah ke-8 Al Mu’tashim. Kemudian, pindahnya Ibu Kota Khilafah dari Baghdad ke Turki yang ternyata dilakukan tanpa hutang. Konstantinopel Ibu Kotanya atau yang sekarang dikenal dengan Istanbul. Kota terpadat di Turki dengan kondisi ekonomi yang maju karena pemerintah mengendalikan rute-rute perdagangan darat utama antara Eropa dan Asia. Pemindahan ibukota ini semata-mata berorientasi pada pengaturan urusan umat. Bagaimana caranya agar bisa membentuk kemandirian negara?
Sistem Pemerintahan Islam akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam. Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara.
Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan, bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar dapat ditutup dengan penguasaan atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hal tersebut hanya bisa terlaksana, jika penguasa mau untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri dengan Islam. Dan konsep-konsep ini bisa terwujud sempurna apabila mengambil Islam secara keseluruhan dan diterapkan dalam naungan khilafah. Wallahu’alam. (*)














