Opini  

PP 22/2021: Alarm Bumi Etam Makin Rusak, Rakyat Kian Sesak

Dulu kala bumi Etam masih alami hutan dan satwanya. Tahun 1985 hutannya pun masih lebat. Tak heran area hutan tropis di Kalimantan Timur merupakan hutan terluas di negeri zamrud khatulistiwa ini.

OPINI OLEH: Dhevy Hakim

Penduduk pun belum sepadat sekarang, belum ada penduduk pendatang. Konon penduduk pendatang datang ke bumi etam karena adanya program transmigrasi dan tertarik mengadu nasib dengan dibukanya lahan tambang.

Bumi Etam memang terkenal dengan tambangnya. Minyak bumi, gas alam dan emas hitamnya memiliki cadangan yang bisa digunakan selama 80 tahunan. Kualitas emas hitamnya juga kualitas nomer satu (untuk wilayah sangata). Dibukanya tambang dari tahun ke tahun semakin mengurangi luas area hutan tropis di bumi Etam. Tentu dampak eksploitasinya terjadi polusi udara, lingkungan rusak, banyak lubang bekas tambang batubara menambah dampak rawannya terjadi banjir.

Wajar jika keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan dari UU Cipta Kerja menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan.

Pasalnya PP tersebut berisi pencabutan FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) batubara sebagai limbah B3. Sedangkan FABA sendiri merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi. Artinya industri yang mengeluarkan limbah FABA tak lagi dibuat repot untuk mengurusi pembuangan limbahnya, keamanan AMDAL nya. Padahal limbah FABA sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan warga sekitar.

“Sebetulnya persoalan limbah itu sudah banyak menyebabkan permasalahan, tapi ditambah lagi PP yang baru ini maka akan ada legitimasi bagi pihak-pihak perusahaan untuk melakukan hal itu,” ujar Richardo Richard sebagai koordinator aksi depan gerbang Kantor Gubernur Kaltim pada Rabu (17/3/2021).

Aksi gabungan antara organisasi lingkungan dan mahasiswa yaitu Jatam Kaltim, Walhi Kaltim, Pokja 30, LBH Samarinda, GMNI Samarinda, Planktos Unmul, FNKSDA Kaltim, hingga Perkumpulan Nurani Perempuan dalam rangka menolak PP 22/2021. Dalam aksi itu, peserta menampilkan teatrikal yang menggambarkan masyarakat Kaltim yang terdampak pencemaran lingkungan, imbas kebijakan yang diambil pemerintah. (selamat.co, 18/3/2021)

Publik tentu masih ingat saat wacana omnibus cilaka sudah banyak penolakan termasuk dalam hal dampak terhadap lingkungan. Saat itu bahkan ada yang memplesetkan omnibus law cipta kerja menjadi omnibis law cipta investasi. Sekarang, plesetan itu nyata adanya. Perpres maupun PP turunan dari UU Cipta Kerja mengarah pada keberpihakan investor semata. Bumi Etam yang kaya dengan emas hitamnya pun publik tahu perusahaan siapa yang menguasai di bumi Etam.

Hampir semua perusahan besar yang menguasai eksploitasi di bumi Etam adalah oligarki sekaligus para pesohor di negeri ini.

Demikianlah menjadi bukti nyatanya demokrasi cuman illusi, kedaulatan maupun kekuasaan hanyalah milik oligarki yakni segelintir orang pemilik modal. Contoh nyata keluarnya PP 22/2021 tidaklah berpihak pada rakyat namun memang dibuat untuk kepentingan investor semakin mudah membuka usaha di Indonesia tanpa dipusingkan mengurusi limbah B3. Padahal jelas FABA batu bara berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan warga sekitar. Seharusnya negara wajib melindungi nyawa rakyatnya dan lingkungan sebagai tempat tinggal di muka bumi ini.

Di sisi lain juga menunjukkan sejatinya negeri ini telah didominasi kekuatan asing yakni kapitalisme. Kapitalisme dengan konsep sekuler telah melahirkan ide kebebasan termasuk kebebasan dalam kepemilikan dan usaha. Fokusnya tentu pada manfaat yang diperoleh sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal haram maupun kerusakan yang ditimbulkan. Tentu dominasi sistem seperti ini tak boleh dibiarkan terus menerus membawa kerusakan dan musibah.

Banjir bandang di Kalsel awal tahun ini menjadi pelajaran berharga akibat dari ulah segelintir manusia membawa bencana dan derita pada rakyatnya. Oleh karenanya PP 22/2021 menjadi alarm buat bumi Etam, jika dibiarkan membawa kerusakan pada bumi Etam makin parah sedang rakyat hanya kebagian limbahnya saja.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali” (Q,S Ar Ruum : 41).

Ayat Allah tersebut tidak salahnya menjadi perenungan untuk kembali yakni ke jalan yang benar.

Kembali pada tata kelola SDA yang dibuat oleh Sang Pencipta Alam. Tata kelola yang diamanahkan kepada negara bukan pada swasta baik asing maupun Aseng. Amanah untuk mengelola sebaik mungkin, menghindari adanya kerusakan, eksploitasi untuk dinikmati rakyat dan generasi mendatang, dan tentunya dengan kolaborasi ahli bukan oligarki. Insyaallah, dengan tata kelola ini bumi ini termasuk bumi Etam akan terlindungi dari kerusakan, bencana, dan bisa menikmati SDA yang diciptakan Sang Maha Kuasa. Wallahu a’lam bi showab. (*)