Opini  

Hilangnya Keberkahan Akibat PAD Berasal dari THM

Pemasukan dari sektor usaha Tempat Hiburan Malam (THM) masih mendominasi dalam realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Balikpapan. Kondisi ini dinilai tak sesuai dengan visi kota sebagai Kota Mahdinatul Iman.

OPINI OLEH : Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Wakil Ketua Komisi 4 DPRD Kota Balikpapan Iwan Wahyudi meminta agar pemerintah kota tidak terlalu fokus dalam mengurusi pemasukan daerah dari sektor usaha tempat hiburan malam. Seharusnya, pemerintah dapat memaksimalkan penyerapan potensi pendapatan asli daerah dari sektor lainnya. “Ngapain kita harus ngurusin potensi-potensi pajak dari tempat hiburan malam, karena memang masih banyak sektor usaha lainnya yang dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan realisasi pemasukan daerah dalam PAD Kota Balikpapan,” kata Iwan (9/3).

Ia menjelaskan, seharusnya pemerintah tidak perlu terlalu fokus dalam mengurusi pajak hiburan, apalagi untuk membahas terkait rencana untuk memberikan penurunan tarif pajak tempat hiburan karena akan memberikan dampak negatif perilaku kehidupan masyarakat.

Karena Perda hiburan tersebut, tidak hanya mengatur mengenai pajak tempat hiburan malam, namun juga tentang penjualan minuman beralkohol. Sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap minuman beralkohol.

“Ketika kita berbicara untuk mengevaluasi pajak tempat hiburan kita juga akan berbicara tentang aturan yang ada di dalamnya di antaranya tentang regulasi penjualan minuman beralkohol yang pada dasarnya tidak sesuai dengan visi kota Balikpapan sebagai kota Madinatul Iman,” ungkapnya. (Balikpapan.prokprokal.co, 9/3/2021)

Apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Balikpapan tersebut patut diapresiasi. Sebab, selain ketidaksesuaian antara visi Kota Balikpapan dengan PAD, konsumsi minol, serta budaya hiburan malam bukanlah ciri kehidupan muslim.

Bergantung pada THM justru mengakibatkan hilangnya keberkahan hidup masyarakat Kota Balikpapan. Dampak hilangnya keberkahan sudah kita rasakan sendiri, yakni banjir maupun pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai.

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rûm [30]: 41)

Sehingga wajib bagi Pemkot Balikpapan untuk berbenah dan bermuhasabah agar bisa melepaskan dan memfokuskan PAD pada ranah yang sesuai tuntunan syariat.

Namun, tentu hal ini sulit untuk direalisasikan. Sebab, negara ini menerapkan sistem kapitalis sekuler liberal. Sistem ekonomi Kapitalisme meniscayakan tumpuan utama sumber pendapatan adalah utang dan pajak.

Sistem sekulerisme sebagai landasan hidup kapitalisme menghalalkan apa saja yang haram di mata agama. Sedang liberalisme sebagai gaya hidup yang menjadi ciri khas kehidupan kapitalis sekuler.

Dengan demikian, PAD yang bertumpu pada pajak THM menjadi sesuatu yang mutlak terjadi di sistem yang fasad ini. Jikalau memang Kota Balikpapan ingin menyempurnakan visi Kota Madinatul Iman maka dibutuhkan upaya mencampakkan sistem kehidupan yang rusak dan merusak tersebut.

Maka, di sinilah Islam dengan syariatnya yang paripurna menjawab sumber anggaran yang mampu menyejahterakan, memberikan jaminan keberkahan, serta rahmat bagi seluruh alam.

Pos-pos anggaran dalam Islam memiliki institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya untuk kaum muslim yang berhak menerimanya. Institusi itu dikenal dengan sebutan Baitulmal.

Baitulmal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitulmal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.

Di dalam Baitulmal, terdapat bagian-bagian yang sesuai dengan jenis hartanya. Pertama, bagian fai’ dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khunus, kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah (pajak).

Kedua, kepemilikan umum meliputi minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.

Ketiga, sedekah yang disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; zakat unta, sapi, dan kambing. Untuk pos zakat juga dibuatkan tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.

Untuk pemasukan negara, Islam memiliki berbagai jenis harta yang bisa dikelola untuk membelanjakannya sesuai koridor syariat. Bagian pembelanjaan ini dilakukan Baitulmal.

Merujuk kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, pengeluaran atau penggunaan harta Baitulmal ditetapkan berdasarkan enam kaidah. Kaidah tersebut didasarkan pada kategori tata cara pengelolaan harta.

Pertama, harta yang mempunyai kas khusus dalam Baitulmal, yaitu harta zakat. Harta tersebut adalah hak delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Apabila harta tersebut tidak ada, hak kepemilikan terhadap harta tersebut oleh para mustahik tadi gugur.

Kedua, harta yang diberikan Baitulmal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad. Misalnya, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta untuk keperluan jihad. Untuk semua keperluan ini, penafkahannya tidak didasarkan pada ada-tidaknya harta tersebut di Baitulmal hak tersebut bersifat tetap, baik ketika harta itu ada maupun tidak ada.

Ketiga, mengenai harta yang diberikan Baitulmal sebagai suatu pengganti atau kompensasi (badal/ujrah). Yaitu, harta yang menjadi hak orang-orang yang telah berjasa, seperti gaji tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya.

Keempat, harta yang bukan sebagai pengganti atau kompensasi, namun dibutuhkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum. Misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sarana lainnya yang dianggap urgen (penting atau mendesak).

Disebut urgen karena umat akan mengalami penderitaan atau mudarat jika sarana-sarana itu tidak ada. Penafkahan Baitulmal  untuk keperluan ini juga tidak didasarkan pada ada-tidaknya harta.

Kelima, pemberian harta untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai pengganti atau kompensasi, dan juga tidak bersifat urgen. Misalnya, pembuatan jalan alternatif setelah ada jalan yang lain, membuka rumah sakit baru sementara keberadaan rumah sakit yang lama telah cukup memadai, dan sebagainya.

Penafkahan negara untuk keperluan ini ditentukan oleh ketersediaan harta dalam Baitulmal. Apabila tidak tersedia, penafkahan tersebut menjadi gugur, dan kaum muslimin tidak wajib membayar untuk keperluan ini.

Keenam, harta yang disalurkan Baitulmal karena unsur kedaruratan, seperti paceklik, kelaparan, bencana alam, serangan musuh, dan lain sebagainya. Untuk kondisi ini, ada-tidaknya harta di Baitulmal tidak menggugurkan ataupun menangguhkan penafkahannya.

Prinsip pengeluaran Baitulmal ini akan berjalan manakala negara benar-benar menerapkan syariat Islam secara kafah. Pengelolaan anggaran negara juga tidak akan bertumpu pada pajak dan utang seperti halnya negara kapitalis sekuler liberal.

Negara Islam tidak akan kekurangan sumber pendapatan karena sudah memiliki berbagai mekanisme dalam menghidupi rakyat dan negaranya. Wallahu a’lam. (*)

Billy Bets – Join Billy Bets for non-stop action, big wins, and an unforgettable betting experience anytime, anywhere.