Vaksinasi digadang-gadang akan menyelesaikan penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan pemberitaan Bisnis.com (18/9/2020) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan terkait pengadaan vaksin, sudah ada rancangan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi yang akan mengatur secara lengkap proses pengadaan, pembelian dan distribusi vaksin, serta pelaksanaan vaksinasi/ pemberian imunisasi.
OPINI OLEH : Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Selanjutnya yang sangat penting dan perlu segera diselesaikan adalah perlunya pengaturan protokol pelaksanaan vaksinasi. Pemerintah yang dikoordinasikan Kementerian Kesehatan telah menyiapkan Roadmap Rencana Nasional Pelaksanaan Pemberian Imunisasi Covid-19.
Epideimolog Griffith University, Dicky Budiman menyebut situasi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini akan memasuki masa kritis mengingat semua indikator termasuk angka kematian semakin meningkat. Langkah pemerintah dalam beberapa waktu ke depan dinilai sangat menentukan nasib rakyat.
Dalam tiga bulan pertama ini situasi kritis menurutnya akan sangat dipengaruhi oleh respons pemerintah dalam melakukan tes, lacak, dan isolasi. Selain itu, peran masyarakat dalam melakukan 5 M yaitu, menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, menjaga jarak di atas satu meter ketika berkomunikasi, menjauhi kerumunan, menjaga imun tubuh.
Dicky mengatakan ada pemahaman yang keliru jika masyarakat mengira dengan adanya vaksin semua akan selesai. Sebab vaksin bukan solusi ajaib, tapi hanyalah salah satu cara untuk membangun kekebalan individual dan perlindungan masyarakat. “Harus diketahui bahwa tidak ada vaksin yang sempurna memberi perlindungan. Sebagian kecil penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular Covid-19 hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah,” katanya.
Dicky menyebut berdasarkan data sejarah sejauh ini tidak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Ia mencontohkan pandemi cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Kemudian polio baru selesai dalam 50 tahun. “Covid-19 pun sama, bukan berarti setelah disuntikan langsung hilang. Akan perlu bertahun-tahun untuk mencapai tujuan herd immunity,” ujar Dicky.
Terlebih mekanisme vaksin Covid-19 di Indonesia dilakukan secara bertahap. Ia memperkirakan untuk mencapai vaksinasi pada seluruh masyarakat mungkin butuh waktu 12 bulan atau lebih. Idealnya, kata Dicky, keberhasilan vaksinasi lebih mudah terjadi apabila kondisi kurva pandemi yang sudah melandai. Sementara fakta yang terjadi di Indonesia kurvanya masih terus naik, dikhawatirkan menjadi tidak efektif atau butuh waktu lebih lama untuk menciptakan herd immunity.
Dicky bilang selama menunggu vaksin yang akan disuntikan secara bertahap, penyebaran virus yang sudah dalam kondisi tidak terkendali di Indonesia dapat menyebabkan kondisi memburuk. Akibat terburuk pandemi tidak terkendali yang dikuatirkan selain banyaknya kematian adalah timbulnya strain baru yang merugikan.
Ditambah, dengan semakin banyak orang-orang yang positif di tengah masyarakat mengakibatkan orang usia lanjut dan komorbid semakin terancam jiwanya. Dengan hunian rumah sakit yang penuh, belum tentu mereka bisa terselamatkan. Inilah yang akan meningkatkan angka kematian di Indonesia. Selain itu, tidak bergejala bukan berarti tidak sakit, karena riset membuktikan 50 persen di antaranya memiliki kerusakan organ, dan potensi masalah kesehatan jangka panjang. (Tirto.id, 2/1/2021)
Islam sebagai pedoman hidup manusia secara menyeluruh (kaffah) memiliki solusi untuk masalah kehidupan kita, bukan cuma mengurusi masalah ibadah ritual (ibadah mahdhah). Dalam mengatasi masalah pandemi penyakit menular, Islam juga memberikan jalan keluar.
Pertama, sejak awal sebelum sebuah penyakit mewabah dan menyebar tak terkendali, Islam mengajarkan untuk melakukan karantina. Dulu di zaman Rasulullah Saw. masih hidup, terjadi wabah pes dan lepra. Saat itu Rasulullah Saw. melarang umatnya untuk memasuki daerah yang terkena wabah, apakah itu pes, lepra, maupun penyakit menular lain.
Rasulullah Saw. bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ini merupakan metode karantina yang telah diperintahkan Rasulullah Saw. untuk mencegah wabah tersebut menjalar ke negara-negara lain.
Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Nabi Muhammad mendirikan tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah dan menjanjikan mereka yang bersabar dan tinggal akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah, sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah tersebut diancam malapetaka dan kebinasaan.
Peringatan kehati-hatian pada penyakit lepra juga dikenal luas pada masa hidup Nabi Muhammad Saw.. Rasulullah menasihati masyarakat agar menghindari penyakit lepra. Dari hadis Abu Hurairah, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena lepra, seperti kamu menjauhi singa.”
Kedua, Islam memberikan panduan untuk senantiasa disiplin melakukan 3T (testing, tracing, and treatment) dan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak) sebagaimana jamak kita ketahui.
Aksi 3T hendaknya dilakukan otoritas terkait untuk melakukan pengujian, pelacakan, kemudian tindakan pengobatan atau perawatan kepada orang yang terpapar Covid-19.
Sebagai sebuah sistem kehidupan yang syariatnya diterapkan institusi negara, Islam mengatur penanganan orang sakit yang terpapar virus menular agar tidak menulari orang yang sehat.
Di zaman Rasulullah Saw., jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit tha’un, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mengisolasi atau mengarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk.
Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail, kemudian dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total.
Tha’un sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw. adalah wabah penyakit menular yang mematikan, penyebabnya berasal dari bakteri Pasteurella pestis [sekarang disebut Yersinia pestis] yang menyerang tubuh manusia.
Jika umat muslim menghadapi hal ini, dalam sebuah hadis disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit.
“Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya).” (HR Bukhari)
Gambaran sistem Islam mencegah penyebaran penyakit menular juga terjadi ketika masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab ra., wabah kolera menyerang Negeri Syam. Khalifah Umar bersama rombongan yang saat itu dalam perjalanan menuju Syam, terpaksa menghentikan perjalanannya.
Umar pun meminta pendapat kaum Muhajirin dan kaum Anshar untuk memilih melanjutkan perjalanan atau kembali ke Madinah. Sebagian dari mereka berpendapat untuk tetap melanjutkan perjalanan dan sebagian lagi berpendapat untuk membatalkan perjalanan.
Umar pun kemudian meminta pendapat sesepuh Quraisy yang kemudian menyarankan agar Khalifah tidak melanjutkan perjalanan menuju kota yang sedang diserang wabah penyakit.
“Menurut kami, engkau beserta orang-orang yang bersamamu sebaiknya kembali ke Madinah dan janganlah engkau bawa mereka ke tempat yang terjangkit penyakit itu,” ujar sesepuh Quraisy.
Namun di antara rombongan, Abu Ubaidah bin Jarrah masih menyangsikan keputusan Khalifah. “Kenapa engkau melarikan diri dari ketentuan Allah?” ujarnya. Umar pun menjawab, bahwa apa yang dilakukannya bukanlah melarikan diri dari ketentuan Allah melainkan untuk menuju ketentuan-Nya yang lain.
Keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan pun semakin yakin saat mendapatkan informasi dari Abdurrahman bin Auf ra. bahwa suatu ketika Rasulullah melarang seseorang untuk memasuki suatu wilayah yang terkena wabah penyakit.
Begitu pun masyarakat yang terkena wabah tersebut untuk tidak meninggalkan atau keluar dari wilayahnya. Ini merupakan cara mengisolasi agar wabah penyakit tersebut tidak menular ke daerah lain.
Negeri Syam kala itu sekitar tahun 18 Hijriah, diterjang wabah qu’ash. Wabah tersebut menelan korban jiwa sebanyak 25 ribu kaum muslimin (republika.co.id, 26/01/2020).
Demikianlah dua solusi dari Islam yang seharusnya dioptimalkan sembari pemerintah mengupayakan pengadaan vaksin yang benar-benar aman, halal, efektif, dan efisien. Bukan malah mengandalkan vaksinasi sebagai satu-satunya solusi ajaib, dan cenderung meremehkan upaya lain yang sebenarnya juga penting dan genting untuk menghentikan penularan virus Covid-19. (*)