Oleh : Uce Prasetyo
BBM solar adalah BBM yang di subsidi. Harganya lebih murah dari BBM industri. Selisih harga tersebut, di tanggung negara. Dengan APBN.
APBN, jumlah duit untuk subsidi sudah di tentukan. Jumlah subsidi bbm dan LPG pengadaan tahun ini adalah 44 Trilyun.
Harga patokan BBM adalah 45 dollar per barel. Dengan alokasi 15,8 juta kiloliter.
Anggaran itu dibuat dan di sahkan sekitar bulan November 2020. Lalu bgmana kenyataannya, harga BBM dunia?
Lihat grafik dibawah, harga BBM dunia sejak Januari hingga sekarang sudah di atas 45 Dollar. Bahkan bulan ini sudah di 75 dollar. Itu sudah 70% di atas harga anggaran. Masih ada 3 bulan lagi.
Pertamina, sebagai pelaksana penyediaan BBM subsidi pasti kelimpungan. Ada 3 skenario kemungkinan :
1. Agar jumlah BBM subsidi sesuai target. Sehingga masyarakat lancar mendapatkan BBM solar. Walaupun harga pembelian lebih tinggi, dari yang di anggarkan. Maka Pertamina bisa meminta anggaran tambahan. Apakah itu dilakukan? Saya yakin tidak, keuangan negara pun sedang sesak nafas. Covid bukan hanya bikin sesak nafas pasien yang terjangkit. Tapi juga bikin sesak, keuangan negara dan daerah.
2. Agar jumlah BBM tersedia lancar. Agar masyarakat tetap lancar kegiatannya. Walaupun harga pembelian BBM mentah, lebih tinggi. Maka Pertamina, perlu berbaik hati dengan menanggung selisih biaya. Dari uang Pertamina sendiri. Dengan jumlah trilyunan rupiah. Apakah itu dilakukan? Saya yakin tidak, Karena Pertamina adalah perusahaan. Bukan dinas atau kementrian Sosial.
Maka yang terjadi adalah kemungkinan terakhir.
3. Karena anggaran biaya untuk subsidi solar sudah di tentukan. Yaitu jumlah rupiahnya, harga per barrel nya (45 dollar) dan jumlah total volume solar nya 15,8 juta liter.
Bila jumlah anggaran nya tetap, maka target jumlah volume bisa tercapai, bila harga BBM mentah sesuai anggaran (45 dollar) atau lebih murah.
Bagaimana bila, harga BBM mentah nya naik terus bahkan hingga mendekati 2x lipat. Maka bila tidak ada yang menambah subsidi baik negara atau Pertamina sendiri. Maka otomatis, jumlah volume (kuota) ke masyarakat yang akan di kurangi.
Maka tak usah heran. Kabarnya, jatah kuota SPBU di Sangatta. Hanya di suplay setengah nya. Dan tak usah heran, antrean truk serta sejenisnya. Hari hari terpampang di SPBU. Bisa jadi hingga akhir tahun.
Bikin macet, bikin seret perputaran ekonomi yang memang sudah seret.
Pemkab, yaitu Bupati dan jajaran nya. Atau Pemprov, yaitu Gubernur dan jajaran nya. Serta jajaran penegak hukum. Hemat saya, perlu segera, menjangkau (lagi) urusan ini. Dengan upaya lebih extra, diluar upaya biasanya. Karena kondisi antrean, yang dirasakan masy. Sudah bukan hal yang normal lagi.
Memang tidak bisa 100% langsung menyelesaikan masalah, setidaknya mengurangi masalah antrian.
Kebijakan lokal yang bisa di ambil adalah
1. Penertiban oknum pengetap,
2. Pembinaan penjual eceran
3. Penegakan hukum pada industri (alat berat dll) yang bukan pakai BBM industri
4. Kebijakan penjatahan jumlah pembelian.
Itu lumayan, mengurangi antrian.
Tapi memang, tidak otomatis, menyelesaikan pokok permasalahan.
Karena soal BBM, subsidi nya dan teknisnya adalah kebijakan pemerintah pusat. (*)