Halokaltim.com – Sekira 300 massa karyawan gabungan tiga perusahaan melakukan unjuk rasa di Sekretariat DPRD Kutai Timur (Kutim), Selasa (20/10/20) pukul 09.00 Wita. Mereka menuntut ketidakadilan atas beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Fairco Agro Mandiri (FAM), PT Nusa Indah Kalimantan Plantation (NIKP), dan PT Kemilau Indah Nusantara (KIN) yang beroperasi di Kutim.
Kedatangan ratusan massa berseragam merah yang tergabung dalam Federasi Persatuan Buruh Militan – Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FPBM-KASBI) dihadang aparat gabungan dengan pagar kawat berduri.
Mereka disambut oleh para anggota DPRD Kutim, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Kutim, serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kutim.
Ketua Umum FPBM-KASBI, Bernadus Aholiap Pong mengatakan, aksi unjuk rasa kali ini masih memperjuangkan tentang penolakan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Dalam tuntutan yang disampaikan, massa juga menyuarakan permasalahan lokal yang telah terjadi di tiga perusahaan yang beroperasi di Kutim, yakni PT FAM, PT NIKP, dan PT KIN.
“Sesuai instruksi KASBI pusat, kami masih melakukan penolakan terhadap omnibus law hari ini. Kami juga mengangkat masalah lokal, bahwa sesuai hasil rekomendasi pansus (panitia khusus) DPRD Kutim, PT FAM harus menutup aktivitas operasional perusahaan di Kecamatan Kaliorang, sekaligus pencabutan izin operasi,” ungkap Bernadus.
Selain itu, dia juga meminta agar PT FAM melakukan tindak lanjut atas pidana pelanggaran yang telah dilakukan pada 2019.
“Tahun lalu PT FAM melakukan pencemaran lingkungan dengan limbah, yang saat itu sudah diberi sanksi administrasi. Namun sanksi itu tak dilaksanakan pihak perusahaan sampai hari ini,” terangnya kepada jurnalis halokaltim.com saat unjuk rasa masih berlangsung hingga sore.
Berikutnya, Bernadus memaparkan, persoalan di PT NIKP adalah tentang hak-hak karyawan yang banyak tak dipenuhi. FPBM-KASBI meminta agar dijadwalkan pemanggilan terhadap PT NIKP untuk membayar sejumlah hak karyawan yang dihilangkan.
“Beberapa hak karyawan PT NIKP yang dihilangkan adalah satunan kecelakaan kerja, cuti hamil dan melahirkan, dan 14 karyawan berstatus BHL (buruh harian lepas) yang diberi PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak. Alasan perusahaan, status BHL itu tidak menjadikan pihak perusahaan berkewajiban memberi cuti hamil, sehingga pekerja harus berhenti dari perusahaan ketika hamil,” urainya.
Sementara itu, permasalahan di PT KIN yang dituntut oleh FPBM-KASBI adalah penghilangan hak karyawan berupa ketiadaan cuti hamil dan melahirkan, karyawan usia lanjut tidak dipensiunkan, serta laka kerja tidak ditanggung dan atau disantuni.
“Di PT KIN, sebanyak 50 persen dari 1.500 karyawan masih menggunakan BPJS kesehatan APBN, yang artinya karyawan masih ditanggung oleh negara. Itu jelas melanggar Undang-Undang Korporasi,” tegas Bernadus.
Dalam unjuk rasa tersebut akhirnya disepakati, Pemkab Kutim dan DPRD Kutim memberikan surat rekomendasi yang ditujukan kepada tiga perusahaan yang dimaksud. Isi surat tersebut memberi imbauan agar sekira 300 pengunjuk rasa tersebut tidak diberi sanksi oleh pihak PT FAM, PT NIKP, dan PT KIN.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Kutim, Basti Sanggalangi mengatakan, pihaknya telah berupaya memfasilitasi tuntutan dari tiga perusahaan yang dimaksud. Pihak DPRD Kutim turut prihatin atas hal yang disediakan oleh para karyawan.
“Kami sudah membuat surat rekomendasi agar perusahaan tak memberi sanksi apapun, sehingga karyawan tak ada gejolak lagi ketika bekerja. Mudah-mudahan para karyawan bisa bekerja kembali dengan baik dan aman,” ungkap Basti.
Dia menjelaskan, pansus sudah bekerja maksimal, dan membuat rekomendasi terkait kelanjutan perizinan PT FAM. Sebab pansus memang menemukan pelanggaran lingkungan.
“Terkait itu, kami minta supaya ada sanksi pidana, yaitu PT FAM harus bayar denda karena sudah mencemarkan sungai di Kecamatan Kaliorang pada 2019,” tegas Basti.
Menyangkut itu, Pansus DPRD Kutim dan Pemkab Kutim memutuskan, agar managemen PT FAM menghadiri rapat dengar pendapat di Sekretariat DPRD Kutim pada Jumat (23/10/20) mendatang.
“Kami minta agar pemilik PT FAM bisa hadir, bukan pihak managemen, karena kewenangan managemen terbatas. Harapannya, agar pemilik perusahaan selaku pemodal hadir untuk mengambil satu keputusan agar tuntutan buruh bisa menemukan solusi,” harap Basti.
Ada 94 Item Pelanggaran
Ketua Pansus, Hepni Apansyah menjelaskan, unjuk rasa kali ini bukan yang pertama, karena sebelumnya para karyawan tersebut sudah membuat perjanjian bersama tentang ketenagakerjaan. Namun perjanjian itu tidak ditindaklanjuti pihak perusahaan.
“Akhirnya kami membentuk panja (panitia kerja) khusus menyikapi tentang permasalahan buruh, dan ketika mendatangi PT FAM, kami hanya diterima oleh managemen yang tidak memiliki kewenangan terkait masalah yang dibahas. Permintaan kami untuk merespons perjanjian perusahaan dengan buruh juga tak ditindaklanjuti, sehingga kami membentuk pansus,” terang Hepni ketika dijumpai halokaltim.com di ruang kerjanya.
“Ketika kami membentuk pansus, kami justru menemukan permasalahan lainnya di perusahaan (PT FAM) tersebut, yaitu pelanggaran menyangkut Undang-Undang Lingkungan. Sehingga kami juga melibatkan Dinas Lingkungan Hidup Kutim, dan bupati pada Februari 2020 sudah menyurati perusahaan tersebut mengenai 94 item pelanggaran,” beber Hepni.
Usai aksi unjuk rasa selesai, Sekda Kutim Irawansyah mengatakan, pemerintah akan mengupayakan agar para buruh di tiga perusahaan tersebut bisa bekerja kembali sesuai yang diharapkan.
“Kami jadwalkan pertemuan dengan PT FAM atas permintaan Pak Pjs Bupati Kutim (M Jauhar Effendi) pada Jumat (23/10/20) nanti. Kami harap pertemuan itu bisa menyelesaikan masalah di perusahaan, baik lingkungan maupun ketenagakerjaan,” harap Irawansyah.
Pada pertemuan tersebut, akan menghadirkan semua stakeholder yang bersangkutan untuk menyikapi hasil rekomendasi Pansus DPRD Kutim. (mon)