Oleh: Agusriansyah Ridwan, S.IP., M.Si (Anggota DPRD Kutai Timur, Partai Keadilan Sejahtera)
MASYARAKAT belum pulih dari situasi pandemi covid-19. Perekonomian masyarakat belum bangkit dari situasi dampak pandemi tersebut. Bahkan terakhir, presiden memberlakukan kembali PPKM level 1 di semua daerah.
Namun keadaan tersebut tak bersahabat dengan kebijakan terbaru lainnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non subsidi. Atau dengan kata lain, harga BBM subsidi naik.
Diketahui, daftar penyesuaian atau kenaikan harga BBM tersebut antara lain, Pertalite semula Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter. Kemudian solar sebelumnya dibanderol Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter. Sementara Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Usia diumumkannya kenaikan harga BBM tersebut, masyarakat mulai bergejolak. Sejumlah gabungan mahasiswa dan beberapa kelompok melakukan unjuk rasa di banyak daerah, menolak kebijakan tersebut.
Hemat saya sebagai wakil rakyat, kenaikan BBM di tengah pandemi yang belum pulih benar, jelas akan semakin menyulitkan kehidupan masyarakat. Sebab dampak kenaikan BBM tentu akan menyebabkan naiknya juga harga bahan pokok kehidupan.
Bantuan langsung tunai (BLT) yang dijadikan alasan untuk menjadikan BBM subsidi bisa tepat sasaran, tidak membuat pondasi ekonomi masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera. Hal itu hanya membuat masyarakat semakin sulit menghadapi kehidupan. Tidak ada jaminan BLT bisa lancar 100 persen.
Sementara itu, kebijakan pembangunan infrastruktur megah yang tidak terlalu pro masyarakat harusnya diperuntukkan untuk pembangunan yang bisa mengakses peningkatan kehidupan masyarakat.
Lantas PKS satu suara menolak kenaikan harga atau disebut penyesuaian harga BBM tersebut. Kenaikan BBM ini bukti ketidakadilan dan sangat tidak manusiawi di tengah kondisi ekonomi dan moneter yang tak mampu dipulihkan dengan baik oleh pemerintah, selaku penanggung jawab tertinggi perihal kesejahteraan rakyat.
Sebagai Aleg PKS, saya pribadi sangat menolak dan meminta kepada pemerintah untuk peduli atas nasib masyarakat. Selain harga yang naik, kelangkaan diclapangan atas BBM juga tak mampu ditanggulangi pemerintah hingga hari ini.
Hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat gagal dalam menangani pemulihan ekonomi masyarakat. Kenaikan harga BBM ini bukanlah kebijakan yang tepat dalam kondisi saat ini.
Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan agar pemerintah bisa mengkaji ulang kebijakan tersebut dalam mengembalikan harga BBM bersubsidi ke taraf yang lebih mampu dijangkau oleh rakyat Indonesia.
Mari kita bangkitkan ekonomi Indonesia dari dampak pandemi covid 19 dengan pengambilan kebijakan yang tepat guna. (*)