Opini  

Tambang Ilegal Mengancam Lingkungan, Sampai Kapan?

Oleh : Andi Putri Marissa (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Muslimah)

KALIMANTAN dengan julukan borneonya yang terkenal dengan alam yang asri, peohonan yang rimbun dan sematan paru-paru dunia kelak hanya tinggal nama saja. Sekarang bukan lagi tidak ada asap kalau tidak ada api, tetapi tidak ada kerusakan alam kalau tidak ada tambang ilegal. Ya, tambang ilegal. PR bagi pemimpin daerah bagaimana menyelsaikan masalah yang tak kunjung ada titik terangnya. Lingkungan alam kalimantan kini seakan mengambarkan bagaimana kesakitan yang diperoleh akibat tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.

Sebagaimana fakta yang dilansir oleh voaindonesia.com, bahwa beberapa tahun belakangan ini banjir rutin menerjang Muang Dalam, Samarinda. Dikatakan alah satu puncaknya terjadi pada 03 September 2021. Bahkan viral di media sosail, video yang memperlihatkan adanya serpihan batu bara yang terbara banjir masuk ke rumah warga. Diikuti 10 hari kemudian kembali banjir. Walhasil, keresahan menghantui warga hingga akhrinya warga melakukan aksi penolakan terhadap praktik tambang ilegal di kawasan tersebut pada 25 September lalu.

Salah satu tokoh pemuda Muang Dalam, Soleh Arifin menceritakan bagaimana tambang merusak hajat hidup mereka. Dulunya desa tersebut dikenal sebagai lumbung padi, namun ketika aktivitas penambangan meningkat, sumber air disekitar mengering, sehingga tanaman tidak bisa tumbuh sebab sawah yang ikut mengering. “Jadi masyarakat saat ini beralih ke peternakan. Akan tetapi saat ini juga untuk mencari bahan makan ternak itu juga susah, dengan banyaknya lokasi yang terbuka menjadi aktivitas tambang,” kata Soleh.

Ini adalah satu dari sekian kasus tambang illegal, memang masih banyak tambang ilegal bersemayam di kalimantan, salah satunya Kutai Kartanegara. Dilansir dari kaltimkece.id, Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, memperkirakan, tambang ilegal di Kukar sudah mencapai 100 titik walaupun belum semuanya tervalidasi. Pemeriksaan Jatam di lapangan sejauh ini sudah mengidentifikasi 50 titik tambang yang dipastikan ilegal. Lokasinya di lima kecamatan di Kukar yaitu Samboja, Sebulu, Loa Janan, Loa Kulu, dan Tenggarong Seberang.

Bukan main banyaknya, ini yang ilegal belum lagi yang legal. Memang bumi kalimantan ini menjadi surganya tambang. Banyak yang mengincarnya baik dengan jalur legal dan ilegal. Bahkan sering terjadi pemasalahan, dari pemalsuan dokumen hingga curi-curi perpanjangan kontrak. Dilansir kaltimtoday.co Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim secara resmi mengajukan gugatan keterbukaan informasi publik melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Gugatan ini mengenai ketidak transparansi dokumen evaluasi kinerja lima perusahaan batu bara yang akan habis masa kontraknya. Ini mengacu kepada kebijakan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang revisinya dinilai sangat singkat. Dimana perusahan batu bara mengajukan perpanjangan kontrak berdasarkan aturan tersebut.

Sungguh disayangkan ternyata dalam tataran kebijakanpun masih belum mampu menangani kerusakan alam perihal tambang. Kebijakan yang ada terkesan memfasilitasi kerusakan alam berkepanjangan. Begitupula yang diungkapkan oleh Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional.

“Perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global. Begitu juga proyek gasifikasi batubara yang saat ini dibangun PT KPC bahkan diklaim sebagai energi baru dan terbarukan yang justru sekadar legitimasi bagi energi fosil dan berbahaya seperti batubara untuk terus langgeng di Indonesia dan makin mengundang bencana ekologis dan krisis iklim.”

Bukankah ini menjadi pertanda bagaimanapun sebenarnya mau legal ataupun ilegal, tambang yang ada hanya mewakilkan keuntungan korporat tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan rakyat sekitar. Lingkungan rusak, tercemari. Tambang yang ditinggalpun menyisakan lubang-lubang maut, dimana tidak sedikit nyawa melayang karenanya. Kebijakan yang keluar justru minim visi untuk mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan tambang. Sehingga, berbagai regulasi terkait tambang justru merugikan rakyat dan menguntungkan asing.

Perubahan yang terjadi pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) atau disebut UU Minerba yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski banyak kritik dari publik, DPR tetap saja mengesahkan UU Minerba dalam Rapat Paripurna tahun lalu. Publik akhirnya menduga ada kepentingan pro korporasi dan oligarki tambang dalam UU ini.

Ada tiga hal penting di balik UU Minerba ini: Pertama, UU Minerba pro korporasi dan oligarki. Beberapa ahli mengatakan UU ini sarat kepentingan oligarki tambang. Kedua, UU Minerba sangat dipaksakan, padahal negeri ini sedang menghadapi wabah Covid-19. Ketiga, UU Minerba ini produk dari proses demokrasi yang merugikan publik dan pro korporasi. Tidak hanya itu adanya tambang justru mempengaruhi tingkat kemiskinan rakyat sekitar.

Sebagaimana studi yang dilakukan ekonom dari Australian National University, Budi Resosudarmo, dan Sambit Bhattarcharya dari University of Sussex pada tahun 2015, menunjukkan bahwa pertumbuhan tambang di Indonesia cenderung meningkatkan rasio penduduk miskin hingga 1,72 persen. Berharap akan ada kesejahteraan dan terbukanya lapangan pekerjaan, namun justru sebaliknya. Miris.

Maka sampai kapan ini harus terus berlanjut? Sekarang kita tidak sedang berbicara illegal atau legal tapi bagaimana penambangan yang ada justru merugikan banyak hal. Dari sini seharusnya kita melihat keluar, melihat lebih luas lagi permasalahan ini. Bukan hanya pada status penambangnya namun juga pada kebijakan yang ada.

Islam telah memiliki seperangkat aturan yang terperinci terkait pengelolaan sumber daya alam. Hal ini sudah pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam- Ibnu al-Mutawakkil berkata yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Dari sini jelas bagaimana aturan islam dalam hal mengelola SDA yang ada dinegaranya. Tidak dijinkan sedikitpun pengurusannya diserahkan kepada individu. Sebab negaralah yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengelolanya dengan baik demi kemaslahatan rakyat. Dalam pandangan Islam, SDA yang depositnya banyak, merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola negara.

Sebagaimana dalam sabda Rasul SAW, “Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud). Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya, seperti bensin, gas, dan, lain-lain; termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut; semuanya telah ditetapkan syariat sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Secara administrasi, SDA yang masuk kategori milik umum dikelola menggunakan sistem sentralisasi. Artinya, SDA yang ada di sebuah negeri bukan hanya milik negeri tersebut, tetapi milik seluruh kaum muslim.

Bukan hanya itu, ketika dikelola dengan serius oleh negara, maka negara akan memperhatikan sekelilingnya dengan standar bukan untung rugi tapi maslahat umat. Pengelolaan SDA dalam sistem ekonomi Islam pun sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Berbagai upaya sebelum dan sesudah penambangan akan dilakukan demi mencegah terjadinya fasad di darat dan laut. Hal ini sudah dibuktikan di masa kekhilafahan islam.

Sebagai contoh pada abad 12 M, tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol memiliki kedalaman hingga 457 meter dari permukaan tanah. Hal itu tentu saja membutuhkan ventilator, pompa air, dan drainase yang memadai. Ada juga enambangan-penambangan yang dikelola pemerintah sudah menggunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin. MasyaAllah.

Dalam salah satu karyanya Al-Biruni menuliskan tentang pengelolaan tambang, “Pencarian batu sejenis Rubi dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir.”

Lantas mengapa bisa pada masa itu pengelolaan tambang mampu berjalan tanpa harus merusak lingkungan dan merugikan rakyat? sebab aturan yang dipakai bukan mementingkan segolongan orang saja, tentukan bukan untuk korporat, melainkan untuk kemaslahatan umat serta menjalankan semuanya bersandarkan aturan Allah.

Tentunya Allah sudah berikan kecukupan bagi manusia dengan hamparan alam semesta ini, agar manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Namun tentu saja jika itu dikelola dengan baik. Tetapi realitasnya manusia suka serakah, apalagi jika tidak mengindahkan syariatNya.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S Ar-rum : 41).

Tentu sepatutnya kita resapi dalam-dalam bagaimana peringatan Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.

Ketaatan pada aturannya pastilah mendatangkan kemaslahatan, namun abai pada aturannya bahkan enggan untuk taat maka sama saja menghalalkan siksaNya. Naudzubillah. Demikian pada permasalahan kerusakan alam yang terjadi saat ini akibat tambang, semoga menjadi penyadaran bersama bahwa kita butuh kembali mengingat Allah dan menaatiNya. (*)