Opini  

Islam Mewujudkan Keharmonisan dalam Keragaman

Opini Oleh : Resti Yuslita (Aktivis Muslimah)

ISU seputar terorisme kembali menghangat. Kali ini bentukya berupa gerakan bersama dalam menaggulangi aksi teror yang berpotensi muncul di tengah masyarakat. Menurut Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) upaya mencegah tersebarnya paham terorisme dapat dilakukan dengan menggenjot 3 aspek. Diantara aspek yang mendesak untuk digenjot guna mengentaskan paham terorisme adalah kesiapsiagaan, kontra radikalisasi dan deradikalisasi (kaltim.tribunnews,20/09/2021). Pernyataan ini disampaikan oleh Komjen Pol Boy Rafli selaku Kepala BNPT dalam acara Deklarasi Kesiapsiagaan Nasional yang digelar di Balikpapan pada tanggal 20 September 2021.

Pengaruh paham terorisme dipandang telah menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan bahwa dalam dua dekade terakhir bermunculan adanya contoh buruk terhadap generasi muda terkait aksi terorisme. Terlebih hal ini juga menimbulkan korban, baik berupa rusaknya fasilitas umum hingga nyawa manusia. Karena itu, menurut Kepala BNPT, aksi teror yang sebelumnya pernah terjadi menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua dan dorongan untuk membangun semangat anti radikalisme (kaltim.tribunnews.com, 20/09/2021).

Salah satu bentuk menangkal pengaruh paham terorisme dilakukan melalui penguatan paham Pancasila. Aksi terorisme diyakini muncul sebagai manifestasi  dari kemajemukan bangsa Indonesia yang membuka peluang terjadinya persoalan sosial. Oleh karena itu penguatan paham Pancasila dinilai tepat dalam menghadapai ide terorisme. Beberapa pihak yang didaulat memiliki peran strategis menyuarakan paham Pancasila di tengah masyarakat adalah dari kalangan aparatur negara khususnya tingkat daerah dan tokoh masyarakat, baik adat maupun agama (kaltim.tribunnews, 20/09/2021).

Bahasan seputar terorisme sejatinya bukankan isu baru. Narasi ini telah ada sejak sekitar 20 tahun yang lalu saat terjadinya tragedi runtuhnya menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2000. Sejak itu opini terorisme ramai digaungkan. Sulit untuk dinafikkan bahwa target opini perang melawan teror atau war on terrorism diarahkan pada Islam dan ajarannya. Hal ini nampak jelas dari framing yang masif dilakukan oleh media massa. Terlihat adanya upaya mengaitkan aksi terorisme dengan ajaran Islam seperti konsep tentang jihad, Khilafah dan Islam kaffah.

Isu terorisme hakikatnya justru merugikan umat Islam. Bagaimana tidak, pasca gempuran monsterisasi tentang Islam dan ajarannya telah berkontribusi pada merebaknya kebencian terhadap Islam atau islamofobia di beberapa belahan dunia. Selain itu juga terjadi invasi besar-besaran yang dilakukan oleh AS ke Irak, Pakistan dan Afghanistan dengan dalih memburu kelompok teroris dan tuduhan senjata pemusnah massal. Ironisnya hingga akhir masa pendudukan, AS tidak berhasil membuktikan tuduhan mereka. Di sisi lain sekitar setengah juta nyawa kaum Muslim yang berada dalam pendudukan AS telah menjadi korban keganasan narasi terorisme tersebut.

Tanpa terkecuali di tanah air, narasi terorisme telah berdampak pada stigmatisasi ajaran Islam dan kelompok yang memperjuangkannya. Kita dapati adanya kasus penyerangan terhadap para pendakwah, persekusi terhadap kelompok kajian Islam, pembekuan aktivitas ormas Islam serta kriminalisasi tokoh umat. Bahkan ketika narasi dikembangkan dalam penyebutan yang berbeda seperti radikalisme ataupun ekstrimisme semua tetap mengarah pada Islam dan ajarannya.  Dalam hal ini eksistensi Islam sebagai ideologi dipandang sebagai sebuah ancaman bagi keutuhan bangsa. Benarkah ideologi Islam adalah ancaman bagi negeri?

Islam sebagai sebuah ideologi merupakan bentuk penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam penerapan ini Islam tidak sekadar mewujud dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang bersifat ritualitas namun juga dalam aspek sosial lainnya seperti ekonomi, politik, pendidikan, pergaulan dan lainnya. Dengan kata lain Islam hadir secara “politik” karena seluruh sendi aktivitas masyarakat disandarkan pada hukum-hukum Islam. Lantas apakah dengan kondisi demikian seketika berpotensi memunculkan perpecahan dan konflik dalam masyarakat? Terlebih jika melihat fakta tidak ada masyarakat yang homogen sehingga kemajemukan adalah sebua keniscayaan.

Dalam rentang panjang penerapan Islam sebagai sebuah ideologi kita dapati harmonisasi yang luar biasa dalam keberagaman. Di awal pembentukan negara Islam yang pertama di Madinah, Rasulullah SAW telah memberi teladan dalam menjaga kerukunan pada masyarakat yang plural. Madinah Al Munawarah pada masa itu adalah negara dengan komposisi masyarakat beragam, baik dari segi suku, agama dan etnis. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi (non muslim yang terikat perjanjian dengan negara Islam) maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat” (al-Jami’ al-Shaghir, hadits hasan).

Islam mewujudkan kehidupan masyarakat yang hamonis dalam keragaman. Keberhasilan ideologi Islam dalam melahirkan kerukunan di tengah pluralitas setidaknya dapat kita ketahui dari pernyataan sejarawan Barat Will Durant dalam bukunya yang berjudul The History of Civilization, “Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol..Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati mereka walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik diantara mereka” (muslimahnews,com,02/05/2021).

Demikianlah kesempurnaan penerapan Islam sebagai sebuah ideologi. Islam terbukti mampu mengayomi masyarakat dalam keragaman mereka dan menjaganya dalam kehidupan yang harmonis. Karena itu tepat kiranya ketika kita menjadikan Islam sebagai solusi atas problem kemajemukan dalam masyarakat. Islam hadir sebagai pengaturan yang memperbaiki interaksi-interaksi di tengah manusia serta melahirkan ketenangan di dalamnya. Saatnya Islam menjadi solusi bersama atas tantangan harmonisasi di tengah keragaman. (*)