Opini  

Perang Baliho Saat Pandemi Bukti Demokrasi Tak Layak Diadopsi

Opini Oleh : Nonny Handayani (Ibu Peduli Generasi)

BELAKANGAN, sejumlah partai politik, seperti PDIP, Golkar, PKB, hingga Partai Demokrat, mulai berbondong-bondong memasang baliho ketum hingga kadernya untuk proyeksi Pilpres 2024.

Hal tersebut dijelaskan oleh pakar politik dari CSIS, Arya Fernandes. Menurutnya, baliho masih menjadi pilihan partai politik di Indonesia untuk memperkenalkan para elite hingga kader partai. Awalnya, Arya menjelaskan terkait penetrasi digital secara nasional di Indonesia yang masih berada pada kisaran 35-40 persen.

“Penetrasi digital itu secara nasional masih di kisaran 35-40 persen orang yang punya akses ke digital, maksudnya terkoneksi dengan internet. Di tingkat populasi akses publik terhadap digital atau terhadap internet belum tinggi, masih di kisaran 35-40 persen,” ungkapnya.

Atas dasar itulah, Arya menyebut partai politik akhirnya masih mengandalkan baliho sebagai alat peraga kampanye. Dia menyebut, baliho mampu menjangkau hingga ke daerah-daerah yang masyarakatnya belum terjamah oleh internet (Detiknews.com, 5/8/2021).

Benar saja kini hampir di setiap titik jalan utama yang padat dengan lalu lalang masyarakat banyak ditemui baliho tersebut. Kita ketahui Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh tetapi baliho calon kandidat yang memperebutkan kursi parlemen seolah sedang berlomba mencari perhatian masyarakat.

Fenomena ini tentu menghasilkan berbagai macam spekulasi dari masyarakat, ada yang pro dan kontra. Kita ketahui saat ini Indonesia masih terus berkecamuk dalam menangani wabah virus COVID-19 yang tak kunjung menemukan solusi pasti. Namun para politisi sibuk mencari simpati. Hingga dianggap menghambur-hamburkan uang disaat rakyat butuh pertolongan. Pasalnya biaya penyewaan baliho diketahui cukup fantastis.

Inilah bukti rusaknya sistem Demokrasi yang menjadi anak kandung kapitalisme sekuler, kekuasaan dalam sistem Demokrasi yang bertumpu pada kekuatan modal. Menjadikan siapapun yang ingin mencalonkan diri untuk memasuki parlemen harus siap mengeluarkan Biaya yang fastastis, hanya sekedar ingin mengambil hati masyarakat, demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dalam perpres atau pemilu mendatang.

Namun sayangnya. Walau katanya kedaulatan ditangan rakyat, suara rakyat suara tuhan, nyatanya itu hanya slogan semata.

Fenomena ini Semestinya menjadi cambuk bagi rakyat untuk sadar kebobrokan sistem demokrasi yang niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat. Rakyat pun seharusnya paham dan sadar betul jika popularitas di antara para kandidat pilpres terjadi hanya demi kepentingan oligarkis, memihak para pemodal raksasa. Itulah realitas yang tak bisa dihindarkan dalam sistem demokrasi.
Para calon penguasa itu hanya menjadi kendaraan politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Mustahil terbentuk pemimpin yang mengusung aspirasi rakyat dalam sistem demokrasi.

Sementara, dalam sistem Islam, kinerja sejati penguasa adalah semata-mata bekerja untuk menjadi penanggung jawab urusan rakyat.

Pemimpin dalam islam memahami bahwa tanggung jawabnya memimpin tidak hanya di dunia saja tetapi sampai di akhirat. Dengan demikian, jelas bahwa pemilihan pemimpin dalam Islam tak hanya berbicara tentang siapa yang memiliki modal besar, siapa yang mampu memberi janji manis hingga rakyat terbuai, namun lebih dari itu. Seorang pemimpin harus punya visi misi, tidak hanya visi misi dunia namun juga akhirat. Pemimpin di dalam islam tidak semata-mata sebuah jabatan yang harus diperebutkan, namun justru sebagai pengemban risalah yang berat pertanggung jawabannya.

Terlebih para ulama telah merumuskan dari berbagai nash syara yang menyangkut kepemimpinan berupa tujuh syarat sah yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan diangkat menjadi pemimpin (Khalifah). Syarat tersebut adalah harus seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasiq), merdeka (independen) dan punya kapabilitas untuk memimpin negara.

Maka jika kembali ke syarat sah, tentu pemimpin yang lahir dari rahim Demokrasi tidaklah memenuhi beberapa syarat, pasalnya jika masih memimpin dengan sistem Demokrasi maka selama itu mereka belum merdeka, sebab sistem ini hanya melahirkan penguasa boneka yang siap untuk menjalankan perintah tuannya dan sistem ini juga tak akan mampu adil, sebab aturan yang di pakai bukanlah aturan shohih yang menerapkan aturan berdasarkan syariat Allah Swt sebagai pengatur kehidupan namun justru menjadikan suara terbanyak sebagai aturan baku yang mana suara itu tidak mewakili mayoritas rakyat kecil namun hanya rakyat yang berkepentingan. Alhasil tidak akan terwujud yang namanya keadilan.

Itulah mengapa di dalam Islam hak membuat hukum itu mutlak milik Allah. Sebab Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum).

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(Surah al-Maidah [5]: 50).

Sebagai negeri muslim terbesar, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tidak kah ingin menerapkan hukum Islam secara kaffah? agar tercipta keberkahan untuk negeri ini? dengan mencampakkan sistem warisan penjajah dengan hukum kufurnya yang dalam mengatur kehidupan terbukti membawa kerusakan dan melanggengkan kezaliman.

Sudah saatnya umat sadar bahwa sistem Demokrasi tidak layak diadopsi, karena mau berganti pemimpin sebanyak apa pun ketika tetap memakai sistem yang sama, nisyaca janji hanyalah janji yang tidak pernah terealisasi.

Sebab pemimpin yang amanah, jujur, tulus dan dengan sepenuh hati mengurusi ummat hanya akan lahir dari sistem rusak. Maka sudah saatnya kembali ke sistem pemerintahan yang telah terbukti mampu selama lebih dari tiga belas abad menghantarkan Islam mewujudkan kesejahteraan dan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan seluruh alam.

Wallahu A’lam Bishawab. (*)