Opini Oleh: Dhevy Hakim
Kehebohan nampak di sepanjang tepian Sungai Mahakam. Rupanya fenomena air bangai di sungai terpanjang di Kalimantan Timur itu sangat cepat diketahui warga melalui sosial media. Tak heran warga setempat kemudian beramai-ramai menangkap ikan dan udang. Cukup membawa jaring seadanya dengan mudahnya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.
Melansir dari akurasi.id (8/6/2021) salah seorang warga Samarinda bernama Etoy (30) mengaku telah berhasil menangkap ikan dan udang sebanyak 8 kilo. “Dari subuh, jam dua sampai jam lima sudah dapat udang galah 5 kilo. Ini lanjut lagi dari jam satu siang sampai jam 3 sore, dapat ikan patin dan udang galah 8 kilo,” jelas Etoy.
Kemudahan menangkap ikan dan udang menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi warga. Di saat pandemi yang membuat ekonomi sulit, tentu saja hasil tangkapan tersebut dapat mengurangi pengeluaran kebutuhan sehari-hari. Namun kegembiraan warga semestinya tidak terbatas pada mudahnya menangkap ikan dan udang. Ikan dan udang jika diambil terus menerus pastinya akan berkurang bahkan habis.
Fenomena Tidak Normal
Fenomena Sungai Mahakam dengan kondisi air yang bangai rupanya tidak terjadi di tahun ini saja. Sudah berulang kali sungai tersebut mengalami perubahan warna air. Bahkan dampaknya kali ini tidak biasa. Ribuan ikan ditemukan tak hanya pingsan namun mati dalam keramba. (kaltimkece.id, 9/6/2021)
Lantas apa yang terjadi?
Kata “bangai” berasal dari tuturan Banjar, sedang dari penuturan bahasa Kutai disebut “bangar”. Biasanya dikatakan bangai karena terjadi perubahan warna air. Sungai yang biasanya berwarna sedikit keruh berubah warna menjadi merah kecoklatan. Rasanya lebih asam dan berbau menyengat. Hal ini terjadi karena kadar oksigen di dalam air menyusut secara drastis.
Fenomena air bangai menurut akademikus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda, Prof Esti Handayani Hardi, mengatakan merupakan sesuatu yang normal. Pada saat terjadi perbedaan suhu permukaan dan suhu di dasar sungai karena perbedaan iklim sungai maka kadar oksigen dalam permukaan air menjadi berkurang. Namun pada kondisi normal seperti ini tidak menyebabkan kematian ikan secara massal.
Kondisi tidak normal yang melanda Sungai Mahakam sejak 7 Juni 2021, lebih lanjut menurut beliau tidak lagi karena berkurangnya kadar oksigen di permukaan sungai, namun karena adanya perubahan tingkat keasaman sungai yang ekstrem. Jelaslah telah terjadi kerusakan ekologi di sungai. Bukti bahwa lingkungan hidup sudah rusak tercemar.
Limbah kelapa sawit, limbah logam dari aktivitas pertambangan, adanya illegal fishing, dan aktivitas kapal yang membuang limbah minyak di daerah aliran sungai (DAS) menjadi faktor perusak yang menyebabkan tingginya tingkat keasaman sungai. Padahal, Sungai Mahakam menjadi sumber air untuk PDAM. Sedangkan air bangai sangat susah diproses menjadi air bersih. Bisa dibayangkan betapa menderitanya warga setempat bila terpaksa menggunakan air bangai.
Mengakhiri Derita
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali” (Q,S Ar Ruum : 41).
Ayat tersebut telah memberikan gambaran bahwa kerusakan lingkungan yang ada hingga menyebabkan fenomena air bangai yang tidak normal bukanlah sebab oleh perubahan iklim semata namun jelaslah akibat ulah tangan manusia. Tangan-tangan kapitalis telah merusaknya.
Kapitalisme yang melahirkan ide kebebasan telah menyeret pada kebebasan kepemilikan. Sumber daya alam yang Allah sediakan untuk umat manusia yakni masuk kepemilikan umum pada akhirnya dikuasai oleh segelintir orang saja. Kerasukan mengeksplorasi SDA tidak lagi mempertimbangkan dampak pada lingkungan bahkan sebisa mungkin limbah dari industri pertambangan bukan menjadi tanggung jawab mereka.
Oleh karenanya masyarakat harus menyadari, derita akibat ulah kapitalis harus segera diakhiri. Hanya dengan tata kelola berdasarkan sistem dari illahi derita umat akan berakhir. Tentu saja karena Islam mempunyai konsep tata kelola yang khas. Pertama pengelolaan alam untuk kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Kedua SDA dikelola oleh negara, haram swasta memilikinya. Ketiga eksploitasi dilakukan secukupnya. Keempat meminimalisir kerusakan lingkungan. Kelima pelibatan ahli dalam perhitungan dampak eksploitasi.
Insyaallah, dengan tata kelola SDA seperti ini ekologi akan terjaga. Lingkungan hidup lestari, air bersih berlimpah dan warga pun bahagia penuh berkah.
Wallahu a’lam bi showab. (*)