Opini  

Miris! Warisan Utang Menghantui Masa Depan Indonesia

Opini Oleh : Andi Putri Marissa
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Muslimah)

WARISAN? Mungkin yang terbesit dalam benak adalah harta yang berlimpah dari seseorang kepada keturuanan di bawahnya. Warisan berasal dari bahasa Arab biasa di sebut Al-miirats, Secara bahasa berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Biasanya warisan menjadi rebutan hingga berujung pertikaian untuk mendapatkannya. Namun berbeda dengan warisan satu ini, warisan utang yang bersiap diberikan kepada presiden baru.

Pasalnya pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi tahun ini, diprediksi akan mewariskan utang sebanyak Rp.10.000 triliun untuk presiden selanjutnya. Bukan warisan harta justru utang yang berlimpah siap menyambut pundak pemimpin baru di masa depan.

Seorang ahli ekonomi, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menyampaikan bahwa utang badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan apabila ini gagal dibayarkan, maka negara akan menanggungnya hingga mencapai Rp. 2.143 triliun, belum lagi total utang publik saat ini sudah mencapai Rp. 8.504 triliun. Ia juga memperkirakan pemerintahan akan mewariskan lebih dari Rp. 10.000 triliun kepada presiden berikutnya. Sebagaimana dikutip dalam gelora.co, (05/06/2021).

Utang negara memang suka membuat geger, jumlahnya terus meningkat belum lagi bunganya. Utang pokok belum lunas, bunganya terus membesar. Dilema negara saat ini, bukan main sejak periode April 2021 utang negara meroket menjadi Rp 6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 6.445,07 triliun.

Utang Membengkak Imbas Sistem Sekuler Kapitalisme

Bukan lagi hal yang luar biasa jika negeri ini dibangun atas landasan pinjaman berbasis ribawi. Infrastruktur dibantu dengan dana yang pelunasannya tidak pernah kelar akibat bunga yang tak lunas-lunas. Bangun negara dengan utang udah menjadi tradisi di Indonesia, negara berkembang yang sangat membutuhkan bantuan dana dari negara lain.

Ibarat sudah terlanjur basah, Indonesia sudah terlanjur berkecimpung dalam kubangan utang ribawi. Semenjak krisis ekonomi tahun 1998 yang melanda, menjadikan pemerintah akhirnya menerima uluran bantuan IMF untuk membangun negeri. Maka semenjak itu, Indonesia terus terikat dan harus menelan kenyataan pahit, hidup tak lepas dari jeratan utang luar negeri yang bunganya terus mencekik.

Utang dalam pandangan islam adalah hal yang mubah saja, namun memang menjadi pilihan terakhir jika segala upaya optimal sudah dilakukan. Menurut kaidah islam, Utang atau pinjaman merupakan pemberian harta dengan dasar kasih sayang kepada siapapun yang membutuhkan dan dimanfaatkan dengan benar, serta nantinya akan dikembalikan lagi kepada yang memberikan. Namun tetap sesuai kaidah syara’ tanpa menyertakan riba di dalamnya. Tapi itu semua sekedar teori belaka, hal ini tidak akan berlaku dalam sistem sekuler kapitalisme.

Sistem sekuler kapitalisme meniscayakan pemisahan aturan agama dengan kehidupan, segala sesuatunya dilandasi atas dasar profit semata. Bahkan jika ada yang memberikan pertolongan maka bisa dipastikan berharap ada imbalan atasnya. No free lunch, pas untuk mengambarkan secara umum bagaimana sistem sekuler kapitalisme bergerak. Sistem ekonominya memiliki aturan keuangan berbasis riba dan keuangan sektor nonriil.

Begitulah berlaku pula pada lembaga keuangan dunia seperti World Bank, IMF, juga yang lainnya. Saat mereka memberikan pinjaman ada keuntungan yang ingin diraih, bahkan utang yang diberikan pun menjadikan suatu negara jauh dari kemandirian dan kedaulatan. Sehingga harmonisasi kebijakan akan berlaku antara negara sebagai debitur dan negara kreditur. Dengan kata lain ketika utang sudah menyatu, maka negara akan berada pada jebakan utang (debt trap).

Islam Dan Sistem Non Ribawi
Islam merupakan sebuah ideologi yang terpancar darinya aturan kehidupan yang lahir dari Sang Pencipta alam semesta, Allah SWT. Hadirnya mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan umat, salah satunya pendanaan untuk negeri.

Dalam islam sudah jelas hukum riba adalah haram, sebagaimana dalam firmanNya dalam surah Ali-Imran ayat 30, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba [dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Hal ini juga senada dengan sabda Rasulullah SAW, “Rasulullah saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598).

Sehingga islam akan mengeluarkan legitimasi pendanaan negara yang jauh dari riba, ekonomi juga tidak bertumpu pada transaksi yang mengandung ribawi. Semua hal yang terlibat dalam aktivitas ribawi akan ditiadakan. Bahkan menjauhkan dari aktivitas yang menjerumus kepadanya. Dalam peraturan pada sistem islam, untuk pengelolaan harta dibagi menjadi tiga pos, yaitu kekayaan individu, negara, dan umum. Khusus kekayaan individu diserahkan rakyat masing-masing. Sedangkan kekayaan negara dan umum akan dikelola negara, termasuk harta dari zakat yang dipergunakan untuk 8 asnaf.

Negara yang menerapkan sistem islam akan menjadikan pendapatan negara seperti kharaj, jizyah, fai, ganimah, juga pengelolaan SDA, akan dihasilkan tiap tahun. Agar kas negara tidak kosong dan menutup cela untuk berutang terlebih kepada negara lain. Jika kemudian terpaksa sebab terjadinya kekosongan, maka akan dilakukan pungutan pajak dari orang kaya dan muslim saja. Jadi, tidak memberatkan bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu, negara tak perlu utang sana sini lagi.

Islam sudah memiliki aturan yang begitu komplek dan solutif, bahkan menjauhkan negara dari jeratan utang luar negeri begitupula bunganya. Lantas, masihkah kita ragu untuk menerapkannya? apakah masih mau bertahan dengan sistem sekuler kapitalisme?
Allahu’alam bi shawab. (*)