Kapitalisasi Perguruan Tinggi dan Dampak Khusus bagi Mahasiswa Muslimah

Rahmi Surainah, M.Pd alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin (*/ist)

Halokaltim – Tidak dapat dipungkiri ketika ingin mengenyam pendidikan tinggi khususnya kampus berkualitas maka dana yang dibutuhkan lebih besar. Apalagi kampus-kampus ternama, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Universitas tersebut merupakan impian calon mahasiswa setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajatnya.

Universitas di atas pun sudah masuk dalam status PTN BH yang merupakan target beberapa kampus saat ini termasuk Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda di Kalimantan Timur (Kaltim). Rektor baru Unmul menargetkan di masa kepemimpinannya bisa mencapai BHP. Artinya Unmul akan menyusul kampus ternama di atas baik dari kualitas dan “mahalnya”.

Tidak salah kini ada beberapa progam yang semakin membuktikan Unmul semakin dalam cengkeraman kapitalisasi pendidikan, di antaranya Program MSIB yakni Progam Magang dan Studi Independen. Progam MSIB merupakan progam persiapan karier yang komprehensif dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di luar progam studi dengan jaminan konversi SKS yang diakui Perguruan Tinggi. Artinya Unmul semakin menggencarkan industrialisasi kampus melalui progam tersebut.

Progam MSIB pun disosialisasikan lewat talkshow kampus merdeka bertema “Charting Your Global Journey: IISMA, MSIB, Mentoring and The Campus Merdeka Intiative” dengan bintang tamu Dr. Hetifah Syaifudian, MPP yang dilaksanakan pada 11 Nopember 2023 lalu.

Tentu saja bagi mahasiswa yang kritis dan memahami Unmul semakin dalam cengkeraman kapitalisasi pendidikan menyuarakannya. Di antaranya saat momend International Students’ Day atau Hari Pelajar Internasional yang diperingati setiap 17 Nopember.

Lewat Komite Rakyat Melawan dengan menginisiasi rangkaian kegiatan berupa Diskusi dan Konsolidasi, guna menjahit gerakan-gerakan kolektif, menuju 17 November yaitu International Students’ Day. Dilaksanakan pada Selasa, 14 Nopember 2023 lalu. Diskusi tersebut bertema “Pendidikan di dalam Jeratan Kapitalisme”. Isu ini kemudian menjadi salah satu isu yang harus dibahas menuju ISD. Mereka melihat situasi dan kondisi hari ini menunjukkan pendidikan mulai dikuasai sistem neoliberalisme.

Realisasi Kapitalisasi Pendidikan

Hadirnya PTN BH dalam sistem pengelolaan pendidikan di tingkat universitas dinilai menjadi penyebab beberapa persoalan di bidang pendidikan seperti misalnya, kenaikan harga UKT (Uang Kuliah Tunggal) serta rendahnya kesejahteraan dosen. Ini tak lepas dari PTN BH yang memiliki hak otonom, tetapi justru dalam pengaplikasiannya, membuat universitas harus mencari cara memenuhi ekonominya sendiri. Perguruan tinggi negeri tersebut oleh pemerintah melalui Kemendikbud sudah diberi hak otonom agar lebih mandiri.

Memang sejak 2006, pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai PT di dalam negeri untuk meraih status WCU. Bahkan, Kemendikbudristek menjadikannya arus utama dengan agenda “Peningkatan Reputasi Perguruan Tinggi Indonesia Menuju World Class University“.

WCU menjadi indikator yang tersemat dalam Rencana Strategis Kemendikbudristek 2020—2024, yaitu dengan meletakkan key performance indicator (KPI) melalui target pencapaian lima PT Indonesia masuk ke dalam top 500 PT terbaik dunia. Di Indonesia, standar mutu WCU menjadi acuan akreditasi di PT oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BANPT). Akhirnya, semua PT berfokus menyusun kurikulum serta program-program kampus agar sejalan dengan target WCU.

Kapitalisasi pendidikan perguruan tinggi tentu berbahaya, di antaranya pertama output pendidikan fokus pada banyaknya lulusan yang terserap pasar. Kurikulum didesain sesuai permintaan pasar/ industri akhirnya kompetensi yang tidak dibutuhkan dinomorsekiankan oleh perguruan tinggi.

Kedua, kurangnya SDM untuk vital negara karena mahasiswa lebih minat pada industri kreatif, digital marketing, YouTuber dan artis. Sebaliknya prodi pertanian, agrobisnis, peternakan dll tak menjanjikan karena tidak didukung kebijakan pemerintah. Ketiga, degradasi moral kaum Intelektual terpelajar karena bekerja demi cuan minus ideologis.

Keempat, dunia pendidikan berperan sebagai sabuk penyambung industri dalam eksploitasi rakyat. Kelima, khusus bagi mahasiswi merusak dan memandulkan peran hakiki sebagai ibu, isteri dan amar makruf nahi munkar.

Harga mahal yang dibayar mahasiswi yakni menyerang peran keibuan, masa depan generasi terancam, relasi keluarga menjadi timpang sehingga terancam perceraian, stress dan kehancuran masyarakat. Selain itu, semakin merasuknya paham feminisme gender melalui tsaqofah Barat yang diajarkan di perguruan tinggi.

Selama pendidikan Indonesia berkiblat pada pendidikan Barat, akan sulit untuk mencetak generasi unggul dan berkarakter pemimpin terbaik, khusus bagi muslimah maka peran fitrahnya akan terbengkalai. Tentu menjadi sulit pula untuk membangun negara besar yang memimpin peradaban nantinya.

Dengan demikian tidak salah kalau PTN BH bagian dari MBKM merupakan bukti nyata komersialisasi pendidikan. Kapitalisme yang diterapkan hari ini telah menyebabkan penguasa abai dengan tanggung jawabnya memberikan pendidikan bagi seluruh rakyatnya dengan mengkomersilkan lembaga pendidikan tinggi menjadi PTN BH dalam program MBKM. Akibatnya, minim anak negeri yang mengenyam pendidikan tinggi. Andai pun mengenyam maka peran mereka akan tergerus oleh pemahaman kapitalisme sekuler.

Pendidikan Tinggi dalam Islam

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Baihaqi). Dengan kewajiban tersebut berati pendidikan adalah hak asasi yang wajib dipenuhi oleh negara yang dibiayai penuh secara gratis mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga tinggi.

Tata kelola pendidikan dalam Islam didrive oleh negara, berkomitmen mengembangkan riset untuk membangun sistem industri berbasis kepentingan jihad dan maslahat umat. Negara mensetting penuh arah riset dan kurikulum. Adapun rahasia keberhasilan sistem pendidikan Islam adalah karena dibangun atas dasar akidah Islam. Output pendidikan menghasilkan para ahli sekaligus ulama.

Selain itu bagi perempuan maka Khilafah akan mengoptimalkan peran utama muslimah yakni mengatur rumah tangga mereka, mengasuh anak-anak mereka, meraih predikat ulama, berpartisipasi dalam urusan masyarakat, menjadi advokat untuk keadilan, menyeru kepada kemakrufan, melarang kemungkaran, dan mengoreksi penguasa. Dalam kekhilafahan pun para intelektual muslimah mempunyai kiprah.

Salah satunya Lubna dari Andalusia adalah seorang penyair yang unggul dalam tata bahasa, retorika, matematika, dan kaligrafi. Ia adalah salah satu dari para sekretaris kepala di Negara Khilafah dan dipercayakan dengan korenspondensi resmi. Kaum perempuan dari keluarga Bani Zuhr adalah para dokter pada abad ke 12 M yang melayani Khalifah Abu Yusuf Yaqub al-Mansur. Pada abad ke 15 M dokter bedah asal Turki Serefeddin Sabuncuoglu menggambarkan para ahli bedah perempuan di Anatolia melakukan prosedur bedah pada pasien perempuan.

Demikianlah kiprah muslimah perempuan di era Khilafah. Dapat digarisbawahi dengan pendidikan Islam maka akan terbentuk output generasi yang bersyaksiyah islam, individu inovator, mujtahid, menguasai IPTEK, problem solving bagi permasalahan umat, terdepan dalam aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar, individu ulul albab dan khoyru ummah.

Dengan diterapkannya Islam akan terwujud pemimpin peradaban dalam hal pendidikan tinggi mereka akan multidisiplin dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Sangat berbeda dengan pendidikan saat ini yakni individu pragmatis, apolitis, individualis, berpikir hanya untuk kesejahteraan individu (matrealistik), tidak perlu memikirkan perpolitikan/negara karena terlalu berat dan hanya fokus pada satu bidang saja. Wallahu’alam…