Halokaltim – Legislator dari Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, Ramadhani menilai, perusahaan PT Kobexindo Cement tidak begitu taat aturan. Bahkan kurang menghargai undangan hearing dari DPRD Kutai Timur beberapa waktu lalu.
Ketua Komisi C DPRD Kutim tersebut mengaku kecewa terhadap manajeman PT Kobexindo yang tidak menghadiri undangan hearing, serta tidak ada di lokasi saat sidak pada saat dilakukan sidak beberapa waktu lalu. Menurutnya, Kobexindo Cement seharusnya belajar dari PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Kata Ramadhani, perusahaan besar dengan pengalaman puluhan tahun berinvestasi di Kutai Timur ini mengikuti segala aturan yang berlaku di Indonesia dan Kutai Timur. Selain itu, PT KPC dan PT Kobexindo Cement memiliki kesamaan usaha dalam hal mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Kutim.
“Kobexindo seharusnya belajar dari KPC yang taat dengan aturan, juga berkontribusi secara langsung kepada masyarakat sekitar melalui program-program CSR (corporate social responsibility)-nya,” jelas Ramadhani.
Dirinya menilai, sistem perekrutan karyawan yang dilakukan oleh Kobexindo Cement, di mana harus bisa berbahasa mandarin untuk pekerjaan setingkat operator dan driver, menjadi peluang masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Kutai Timur. Sedangkan orang lokal bakal menjadi penonton di daerahnya sendiri.
Maka tak heran, saat KPC di tengah ke khawatiran menunggu keputusan perpanjangan kontrak. Masyarakat memberikan dukungan, agar Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera melanjutkan kontrak hingga 20 tahun ke depan dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Saya berharap agar Pemerintah Pusat, dapat mempercepat kontrak KPC, sehingga ada kejelasan. Saat ini terjadi kekhawatiran di tengah karyawan maupun subkontraktor sebagai rekan kerja mereka,” tegas Ramadhani.
Diketahui, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang telah dilakukan oleh PT KPC sejak 1982. Bakal berakhir pada 31 Desember tahun 2021 ini, meski manajemen telah mengajukan perpanjangan kontrak ke ESDM bernomor L-188/BOD-MD1.7.5/III/2020. Namun hingga kini, belum ada keputusan dari pusat. (*)