Opini Oleh : Dewi Soviariani (Ibu dan Pemerhati Umat)
IBARAT bunga bermekaran, menghiasi taman. Seperti itu mungkin gambaran maraknya koruptor yang terus bermunculan. Seperti pepatah mengatakan, patah satu tumbuh seribu. Ya, jika bangsa ini masih terus mempertahankan sistem Demokrasi sekuler untuk menjadi Standar dalam mengatur negeri, maka wajar jika kehadiran koruptor datang silih berganti. Tak dipungkiri upaya pemerintah dalam menghentikan lajunya korupsi memang tak main-main. Sayangnya upaya tersebut hingga kini tak membuahkan hasil. pada akhirnya jeruji besi dipenuhi tahanan korupsi.
Tak semata persoalan banyak nya koruptor, negeri ini membuat kegaduhan dengan mengangkat eks koruptor sebagai salah satu komisaris BUMN. Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com – Mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Pengangkatan tersebut tentu nya menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, seperti diketahui, Emir pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004 saat menjadi anggota DPR. Ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014.
Melihat fakta ini Sungguh mengherankan, masyarakat menilai seperti nya bangsa ini kehilangan orang orang yang berkompeten dan jujur dalam menjabat. Memang, sejalan dengan meningkatnya angka korupsi yang tinggi membuat kepercayaan masyarakat semakin menipis, tapi tak berarti pemerintah asal comot dalam persoalan ini. Bukankah untuk menjadi pejabat negara sekelas BUMN memiliki prasyarat yang ketat. Dilihat dari persyaratannya yang tertera dalam pasal Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-03/MBU/2012 Pasal 4, disebutkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota dewan komisaris.
Syarat formal anggota dewan komisaris adalah sebagai berikut, salah satunya dalam persyaratan perseorangan, disebutkan bahwa harus memiliki syarat cakap melakukan perbuatan hukum,Tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan. Tidak pernah menjadi anggota direksi atau dewan komisaris atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan.
Banyak pandangan dari masyarakat menyatakan bahwa korupsi adalah permasalahan individu, nyatanya individu yang bermoral baik pun terjebak dalam pusaran kemaksiatan ini, penilaian buruk tak seratus persen kita tujukan pada kesalahan individu, karena dalam hal ini peran sistemik mempunyai andil besar terhadap meningkatnya angka korupsi. Fakta yang ditunjukkan bahwa sistem lah yang menghasilkan individu individu bermasalah. Dan sistem itu pula yang kemudian membiarkan individu individu tersebut melakukan berbagai bentuk korupsi. Hal ini diperkuat dari hasil survei LSI. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir.
Fakta di atas adalah hanya salah satu bukti yang mengonfirmasi Survey yang mencatat persepsi/pandangan masyarakat bahwa korupsi adalah problem besar bangsa.
Dari hasil survei tersebut telah menegaskan bahwa sistem Demokrasi sekuler ramah terhadap munculnya para koruptor. Pada akhirnya mereka bebas melintas dalam panggung perpolitikan dan meraih jabatan. Sistem Demokrasi sekuler gagal memberantas meluasnya wabah korupsi di negeri ini.
Setelah berjibaku pada persoalan korupsi yang tak menemukan solusi ini, apakah harapan masyarakat akan sebuah keadilan akan terwujud? Tentu nya jika kita memberikan ruang pada solusi Islam akan ada jalan keluar. Karena terbukti 1300 tahun lalu ketika aturan Islam diterapkan berhasil mencegah hadirnya korupsi dalam pemerintahannya.
Dalam sistem Islam hak membuat hukum dan perundang-undangan ada pada Syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun, termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual belikan pasal pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam sistem Islam, para wakil juga rakyat tidak bisa memeras penguasa dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka semata. Pemimpin umat atau Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari Syariah Islam.
Adapun mekanisme pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam sistem Islam adalah:
Pertama, berbeda dengan sistem demokrasi yang menghasilkan para pemimpin yang berorientasi pada materi. Sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang berorientasi pada akhirat. Sehingga pejabat terpilih pastilah memiliki karakter manusia yang bertakwa yaitu amanah, jujur, bertanggung jawab, dll. dari sini saja, sudah merupakan langkah preventif terjadinya korupsi di lingkungan pejabat.
Kedua, dibuatnya Badan Pengawasan Keuangan. Dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah Syekh Abdul Qodim Zallum menyebutkan, dalam sistem Islam akan ada badan pengawasan/pemeriksaan keuangan untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab yang mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pihak yang mengawasi kekayaan para Sahabat.
Sebenarnya, sistem Islam memiliki mekanisme alami dalam menjaga agar seseorang tidak melakukan kecurangan, yaitu keimanan yang kokoh. Karena hal demikian akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi Allah SWT. (Al Fajr ayat 14)
Ketiga, gaji yang cukup. Terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya akan menutup celah potensi terjadinya korupsi. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya. (Abdurahman Al Maliki, 2001)
Keempat, hukum sanksi yang tegas. Penerapan aturan haramnya korupsi dengan memberikan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, dan cambuk hingga mati.
Seperti apa yang dilakukan Khalifah Umar yang menyita kekayaan Abu Sofyan dan membagi dua, setelah Abu Sofyan berkunjung ke anaknya Gubernur Syam, Muawiyah. Dan Khalifah Umar pun melarang pejabatnya untuk berbisnis agar tidak ada konflik kepentingan.
Oleh karena itu, jangan pernah berharap korupsi akan bisa diberantas dalam sistem demokrasi. Karena justru sistem demokrasilah yang menyuburkan korupsi itu sendiri. Dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah persoalan sistemik tentang korupsi yang merajalela ini dapat diberantas dan dicegah. Maka dari itu, alangkah besarnya harapan masyarakat yang mendambakan keadilan mengembalikan solusi nya pada sistem Islam.
Allahu A’lam bisshawwab. (*)