banner 1024x768

Bintang yang Meredup : Siapa yang Akan Menjadi Dosen di Masa Depan?

Hairunnisa Husain (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman / Mahasiswa Program Doktoral Komunikasi Pembangunan-IPB University).
banner 1024x768

Opini Oleh: Hairunnisa Husain    (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman / Mahasiswa Program Doktoral Komunikasi Pembangunan-IPB University)

 

Halokaltim, Samarinda – Maraknya perbincangan di media sosial mengenai tagar “Jangan Jadi Dosen”, berakibat pada keinginan setiap personal yang memiliki pendidikan tinggi akan berfikir sekian kali untuk memutuskan berkecimpung di dunia pendidikan dan pengajaran. Mengapa? Hal ini bukan tanpa alasan, pada beberapa pemberitaan di media sosial, disajikan secara real berapa besaran gaji ataupun honor yang diterima dosen selepas mengerjakan tugasnya dari satu kelas ke kelas lain, dari satu mata kuliah ke mata kuliah lain yang dibebankan dan menjadi kewajibannya. Tidak hanya itu, menjadi dosen secara struktural harus diikuti dengan kewajiban dan konsekuensi mengisi sederet form yang seolah tidak pernah kelar untuk memenuhi tuntutan dari perguruan tinggi bersangkutan, dengan alasan menunjukan peningkatan kualitas perguruan tinggi dari SDM dosen hingga akreditasi.

 

Sepintas, tidak ada yang keliru dengan profesi dosen (sebutan lain guru) tapi muncul pertanyaan di benak mereka sendiri, apakah semua tugas yang dibebankan dan menjadi kewajiban personal dosen telah sesuai dengan kompensasi yang mereka terima perbulannya? Benarkan mampu memenuhi kecukupan yang layak bagi mereka? tanpa harus mencari kerja sampingan? adakah profesi ini diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah ketika bersinggungan dengan kesejahteraan tenaga pendidik sekelas perguruan tinggi?. Dari beberapa referensi dan informasi yang kerap kita temui dan disajikan di media sosial, banyak keberatan dan keluh kesah yang diajukan baik ke perguruan tinggi setempat dimana mereka bekerja hingga ke rapat komisi bidang pendidikan di DPR pusat untuk mempertanyakan, memohon dan meminta dinaikannya kesejahteraan para dosen secara layak. Sebagaimana guru, dosen memiliki tugas mulia yaitu memberikan edukasi dan meningkatkan intelektual anak bangsa yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan pelanjut cita-cita kebesaran negara Republik Indonesia.

 

Tanpa kemuliaan tugas pendidik (dosen di perguruan tinggi), peradaban suatu bangsa tidak akan tercatat dalam sejarah. Pekerjaan dosen bukan sesuatu yang mudah dan sepele, Tridharma yang mereka lakukan dalam keseharian memerlukan fokus yang tinggi untuk mewujudkan mencetak generasi penerus suatu bangsa. Bagaimana dengan kesejahteraan mereka? Beberapa perbandingan nominal gaji dosen di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti Malaysia dan Singapura sangat jauh secara signifikan. Kesejahteraan ekonomi dosen disana sangat diperhatikan oleh pemerintah sehingga dosen tidak perlu mencari sampingan berupa proyek di luar kampus karena secara finansial mapan. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesejahteraan dosen. Gaji dosen di kedua negara ini umumnya lebih tinggi, bahkan untuk jenjang pendidikan yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua negara tersebut memandang profesi dosen sebagai profesi yang sangat penting dan berinvestasi besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

 

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gaji dosen di Malaysia dan Singapura lebih tinggi antara lain:

  • Dosen merupakan prioritas pemerintah, di Malaysia dan Singapura pemerintahnya menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan negara (yang tujuan utamanya adalah adanya perubahan social dalam bidang pendidikan).
  • Industri pendidikan yang sangat kompetitif, melahirkan persaingan yang ketat di sektor pendidikan dan mendorong perguruan tinggi untuk memberikan gaji yang kompetitif kepada dosen-dosen terbaik.
  • Reward dosen yang memadai, selain gaji pokok, dosen di Malaysia dan Singapura juga mendapatkan berbagai tunjangan dan fasilitas tambahan seperti tunjangan penelitian, tunjangan kinerja, dan fasilitas penelitian yang memadai.

 

Di Indonesia, gaji dosen, terutama di perguruan tinggi negeri (PTN), umumnya ditentukan oleh struktur gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, namun besaran gaji yang diterima masih seringkali dianggap tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban. Berdasarkan pengamatan penulis terdapat banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya gaji dosen di Indonesia antara lain:

  • Anggaran pendidikan yang dialokasikan khususnya untuk peningkatan kesejahteraan dosen, masih sangat relatif kecil bila dibandingkan dengan sektor lain. Mengapa? karena kemungkinan perhatian pemerintah Indonesia di bidang pendidikan bukan yang utama.
  • Adanya beban kerja tambahan yang menjadi keharusan dosen untuk memenuhinya secara kontinyu, selain mengajar, dosen sering kali dibebani tugas tambahan contonya pengisian administrasi yang menyita waktu dan tenaga seperti mengisi BKD, E-SKP, membuat borang akreditasi Program Studi dan lain-lain.
  • Kuantitas dosen yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah mahasiswa juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besaran gaji.

 

Perbedaan gaji dosen antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura berdampak signifikan terhadap kualitas pendidikan. Dosen dengan gaji yang lebih tinggi cenderung memiliki motivasi yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, melakukan penelitian, dan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, dosen dengan gaji yang rendah cenderung kurang termotivasi dan lebih fokus pada mencari penghasilan tambahan di luar kegiatan akademik.

 

Bagaimana nasib dosen di masa depan?, tagar “Jangan jadi Dosen” dengan beberapa fakta tidak menyenangkan yang ditemukan di lapangan bisa jadi menurunkan minat anak muda/personal dengan pendidikan dan kemampuan yang baik untuk tidak menjatuhkan pilihannya pada profesi ini. Kenapa ? secara ekonomi finansial mereka akan memiliki kecendrungan mencari yang lebih menjanjikan untuk memenuhi kehidupan yang layak. Lantas bagaimana dengan nasib pendidikan perguruan tinggi di Indonesia? Profesi dosen, yang selama ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan, kini tengah menghadapi tantangan serius. Selain permasalahan gaji kecil, beban kerja dan kesejahteraan kurang memadai, persaingan untuk menjadi dosen juga semakin ketat, banyak lulusan S2 dan S3 yang berkualitas tinggi bersaing untuk mendapatkan posisi sebagai dosen kemudian tuntutan masyarakat terhadap kualitas pendidikan semakin tinggi sehingga dosen dituntut untuk terus mengembangkan diri, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, dan menerapkan metode pembelajaran yang inovatif.

 

Ke depan penurunan minat generasi muda untuk menjadi dosen dapat berdampak negatif bagi kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Hal tersebut mungkin saja terjadi, diantaranya :

  1. Kekurangan dosen berkualitas yang dapat menghambat proses pembelajaran dan menurunkan mutu lulusan.
  2. Proses pergantian generasi dosen menjadi lebih lambat, sehingga inovasi dalam pembelajaran menjadi terhambat.
  3. Banyak lulusan terbaik memilih untuk bekerja di sektor swasta, sehingga potensi mereka untuk berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan menjadi terbuang sia-sia.

 

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, yang tentu saja bukan sekedar wacana (omon-omon) diantaranya:

  1. Pemerintah perlu meningkatkan gaji dan tunjangan dosen agar lebih sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban dan ini merupakan pekerjaan prioritas pemerintah untuk mewujudkan kelayakan kesejahteraan dosen.
  2. Pemerintah dapat dan harus memberikan insentif bagi dosen yang berprestasi, seperti beasiswa untuk melanjutkan studi S3 atau penghargaan atas karya penelitian yang berkualitas.
  3. Perguruan tinggi harus diberikan otonomi yang lebih luas dalam mengelola sumber daya manusianya, termasuk dalam hal penggajian dan pengembangan karier dosen.
  4. Perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai pentingnya profesi dosen dan peluang karier yang menjanjikan di bidang pendidikan.

Keseluruhan usaha diatas merupakan upaya untuk menepis “Bintang yang Meredup” agar menjadi “Bintang yang selalu Bersinar”.