Ketua Pansus LKPJ Bupati Kutim 2023: Silpa Cerminan Buruknya Kinerja dan Perencanaan Anggaran Daerah

Halokaltim, Sangatta – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Kutai Timur (Kutim) Tahun Anggaran 2023, Hepnie Armansyah, SH, mengkritisi adanya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) dalam laporan keuangan daerah. Menurut Hepnie, Silpa mencerminkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyerap anggaran yang tersedia.

 

“Itu cerminan buruknya kinerja kita, perencanaan kita. Kita tidak bisa merencanakan dengan baik penggunaan anggaran itu,” jelas Hepnie dalam sebuah pertemuan, Kamis (2/5/2024). Ia menekankan bahwa Silpa merugikan masyarakat karena kebutuhan mereka tidak terpenuhi tepat waktu. “Saya selalu tekankan, kalau bisa menikmati tahun ini kenapa tidak. Dengan terjadinya Silpa maka terpaksa ditunda sampai tahun depannya lagi. Meskipun uangnya tidak ke mana-mana, tapi mestinya dihabiskan atau dimaksimalkan penyerapannya,” tambahnya.

 

Hepnie juga menyoroti bahwa infrastruktur di Kutim belum begitu baik, sehingga anggaran seharusnya bisa diarahkan untuk memperbaiki hal tersebut.

 

Untuk diketahui, Silpa adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan, yang merupakan selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD, angka Silpa ini seharusnya sama dengan nol. Artinya, penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Misalnya, dalam APBD terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp100 miliar, maka Silpa-nya adalah Rp0. Namun jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar, dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp120 miliar, maka Silpa-nya adalah Rp20 miliar (Silpa positif), yang berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan yang Rp20 miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. Silpa positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah.

 

Di Kutim, kondisi yang ironis terjadi ketika selain memiliki Silpa, daerah juga memiliki utang pada pihak ketiga. Hal ini menunjukkan kurangnya kemampuan daerah dalam mengelola manajemen APBD dan gambaran lemahnya administrasi. “Ada SKPD/OPD yang miliki utang sekaligus Silpa di tahun yang sama,” lanjut Hepnie.

 

Hepnie menambahkan bahwa sudah dua tahun berturut-turut Kutim memiliki Silpa. “Jelas mereka belum bisa berakselerasi, belum mampu menyesuaikan. Ini mungkin karena memang kenaikan anggaran kita cukup signifikan yah. Dari 4,3 triliun menjadi sekitar 9 triliun di tahun 2023. Dan tahun ini sepertinya akan ada kenaikan lagi. Kita berharap di tahun 2024 ini jangan ada Silpa lagi. Penekanannya di situ!” tegasnya.

 

Ketika ditanya soal anggaran perjalanan dinas SKPD yang hampir mencapai 100 miliar rupiah, Hepnie menyatakan tidak ada masalah selama anggaran tersebut mampu diserap. “Tidak masalah selama mereka mampu menyerapnya. 2-3 miliar per SKPD itu selama mereka mampu habiskan, ya silahkan saja,” tuturnya santai.

 

Ia juga menyebutkan bahwa diskusi saat ini masih berkisar pada kuantitas anggaran dan penyerapannya, belum menyentuh kualitas. “Bicarakan soal kualitas itu nanti. Ini baru bicara kuantitas saja belum bisa terserap semua, belum memuaskanlah!” pungkasnya.