Hitam Putih Pariwisata

Dewi Murni, Praktisi Pendidikan Balikpapan Selatan. (*/ist)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan” (Qs. Al-Ghasiyah 17-21).

Itulah firman Allah yang menunjukkan betapa dekatnya manusia dengan berbagai tanda kebesaranNya. Allah telah menciptakan alam bukan hanya sebagai sarana manusia memenuhi kebutuhan hidup ataupun melestarikan dan menikmati keindahannya saja. Melalui penginderaan alam manusia juga diperintah untuk merenungi, berpikir, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah menumbuhkan keyakinan atau keimanan yang kokoh, mentajasad dan produktif.

Oleh karena itu Islam menjadikan wisata sebagai sarana ibadah dan dakwah. Tujuan-tujuan mulia tersebut sangat bertentangan dengan suasana pembangunan wisata secara umum di era modern kapitalisme saat ini. Dimana tujuan mendasar dari pariwisata adalah materi. Pariwisata dijadikan sektor untuk mencari cuan semata tanpa memperhatikan bagaimana syariat mengatur.

Kata Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Berau, Abdul Majid, terjadi peningkatan pada jumlah wisatawan asing periode semester I 2023 dibandingkan dengan tahun lalu.

Sebutnya, jika di sepanjang tahun 2022 wisatawan mancanegara (wisman) hanya mencapai 283 orang saja, kini hanya di semester 1 2023 jumlahnya sudah mencapai 554 orang. Namun diakuinya, peningkatan itu belum terjadi untuk wisatawan nusantara (wisnus) yang saat ini baru mencapai 136.440 orang, sedangkan di tahun lalu mencapai 379.054 orang (berau.procal.co, 25/7/2023).

Kondisi ini tentu menjadi kabar baik di tengah problematika perekonomian negara. Namun kita sebagai Muslim patut mewaspadai kabar baik itu, pasalnya pemahaman sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah mengakar diberbagai bidang salah satunya bidang pariwisata. Pada kondisi sekuler kapitalisme inilah tidak dapat terbantahkan lagi pada sektor pariwisata justru menjadi pintu masuk berbagai maksiat dan kerusakan moral. Sehingga terlihat begitu ironi pada meningkatnya pendapatan daerah karena naiknya jumlah wisatawan mancanegara (wisman), bersamaan juga masyarakat justru terpapar berbagai bentuk keburukan bahkan kesyirikan yang membinasakan.  Hal itu karena wisatawan asing jelas membawa masuk budaya mereka. Contohnya minum minuman keras, berpakaian tak senonoh, LGBT hingga perzinahan. Tentu saja kondisi tersebut mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Lantas bagaimana negeri ini bisa terpelihara dari segala keburukan terlebih lagi diberkahi Allah jika duniawisata lebih dominan dengan kemaksiatan. Bagaimana ekonomi bisa mencapai titik sejahtera dan menghasilkan kemashlahatan umat yang diridhoi oleh Allah jika mekanisme ekonomi diatur dengan sistem sekuler kapitalisme yang jelas-jelas tidak bersumber dari Alquran dan as-sunnah.

Padahal di sisi lain Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam melimpah yang bila dikelola secara tepat dan benar mengikuti syariat Allah tentu akan memberikan pemasukan yang besar bagi negara dan daerah. Sayangnya SDA negeri ini banyak dikuasai asing sehingga sektor pariwisata yang digenjot habis-habisan. Kondisi ini bagaikan negara mengais recehan rupiah dan membuang-buang triliunan rupiah begitu saja.

 Inilah bentuk kerusakan sistemik yang dilahirkan dari penerapan sistem yang tidak bersumber dari Allah. Untuk itu hendaknya kita menjadi yakin hanya sistem Islam lah satu-satunya aturan yang dapat memberikan kesejahteraan dan kebaikan bagi agama dan kehidupan dunia dan akhirat umat.

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya daya kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; oleh karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebebabkan apa yang telah mereka perbuat”. (QS. An-Nahl: 112).