Halokaltim – Nikah beda agama sudah menjadi fenomena yang muncul dikalangan masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, sebanyak 48.302 pernikahan beda agama tercatat pada 2021.
September 2022, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memberikan izin kepada pasangan beda agama berinisial DRS yang beragama Kristen dan pasangannya JN yang beragama Islam untuk mencatatkan pernikahannya di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Administrasi Jakarta Selatan. (databoks.katadata.co.id, 16-9-22)
Terbaru, Hakim PN Surabaya juga mengeluarkan putusan dengan nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Dalam amar putusannya, Hakim mengabulkan permohonan RA (Islam) dan EDS (Kristen) untuk melangsungkan perkawinan beda agama di depan Pejabat Kantor Disdukcapil Kota Madya Surabaya. Padahal, sebelumnya mereka telah ditolak dengan alasan beda agama, tetapi pada akhirnya permohonan mereka dikabulkan juga.
Baru-baru ini telah diterbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan atau pernikahan beda agama.
SE itu ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin dan telah disampaikan ke seluruh pengadilan di Indonesia. Keluarnya SEMA 2/2023 itu disebut untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum. “Dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.” Demikian bunyi petikan SEMA tersebut. (Kaltimpost, 20-6-23)
Meski demikian, adanya SEMA tidaklah cukup membuat mengakhiri pernikahan beda agama. Bahkan tidak sedikit ada pihak yang mengakali hukum dengan dalih HAM mereka menuntut disahkannya pernikahan beda agama berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan.
Tingginya angka nikah beda agama menjadi fakta yang tidak bisa dimungkiri mengenai kian rusaknya tatanan hidup manusia lantaran menjauh dari syariat Sang Pencipta.
Tampak sekali manusia makin jauh dari visi akhirat, mereka malah mengejar kenikmatan duniawi dan melupakan kehidupan akhirat. Manusia lebih mengagungkan soal hak asasi dibandingkan tuntunan Ilahi. Dengan dalih kebebasan beragama merupakan hak asasi bagi manusia.
Ide kebebasan menjadi sebab utama praktik pernikahan beda agama. Pemikiran ini membuat manusia merasa tidak perlu agama dalam menjalani hidup. Mereka menganggap pernikahan tidak ubahnya sebatas pemenuhan naluri kasih sayang. Aturan agama yang melarang nikah beda agama pun bukanlah unsur utama yang perlu diperhatikan. Konsep kebebasan ini pun tumbuh subur dalam sistem demokrasi.
Peristiwa perbedaan penetapan PN yang membolehkan nikah beda agama, kemudian muncul larangan MA mengizinkan praktik tersebut, setelah itu muncul ketidaksetujuan dari Setara Institute memperlihatkan bahwa demokrasi tidak mendukung agama. Sampai kapan pun demokrasi tidak akan mengambil agama sebagai landasan aturan. Karena demokrasi sendiri lahir dari Yunani, bukan dari agama tertentu.
Jadi, meskipun kebijakan MA mengeluarkan SEMA itu dianggap baik oleh kalangan masyarakat dan tokoh agama, tetapi dalam demokrasi, praktik itu salah karena membatasi kebebasan PN untuk menetapkan aturan. Oleh karena itu, hal menunjukan rapuhnya sistem demokrasi.
Pernikahan adalah hal yang sakral dalam Islam. Bahkan dikatakan pernikahan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Menjalankan pernikahan harus sesuai dengan aturan Allah karena tujuan kehidupan bagi setiap muslim adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Ketika seorang muslim justru mendukung pernikahan beda agama bahkan menuntut disahkannya pernikahan beda agama, praktik ini adalah bentuk hilangnya kecintaan kepada Allah sebagai Sang Pencipta yang telah mentapkan aturan dalam pernikahan.
Betul bahwa Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kafir dari kalangan ahli kitab (nonmusyrik). Namun, kebolehan ini tidak bisa dilepaskan dari aturan Islam yang lain seperti soal qawwamah (kepemimpinan) suami dalam keluarga dan kewajiban menjaga keluarga dari api neraka (lihat QS At-Tahrim : 6).
Pada saat yang sama, Islam dengan tegas melarang muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga, dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik mana pun (baik ahli kitab maupun bukan).” (Jami’ al-Bayan 2/379).
Berkaitan dengan pembahasan dalil di atas, maka seorang muslim wajib meluruskan aktivitas nikah beda agama yang sekarang cenderung menjadi tren. Terlebih jika itu terjadi di kalangan muslimah atau laki-laki muslim yang melanggar rambu-rambu syariat dalam pernikahan beda agama hanya karena dorongan tren kebebasan karena asas sekulerisme. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,
“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”(HR Muslim).
Oleh karenanya, keputusan MA mengeluarkan larangan pernikahan beda agama yang menjadi tren saat ini perlu diacungi jempol. Karena MA memiliki kekuasaan untuk melakukan itu. Namun, itu saja belum cukup. Selama demokrasi masih dipakai, masih ada kemungkinan aturan ini berubah.
Sesungguhnya aktivitas nikah beda agama yang fenomenal hari ini merupakan satu kemungkaran yang lahir dari kemungkaran yang lebih besar. Semua itu terjadi karena tidak adanya penerapan Islam dalam bingkai negara. Islam selama ini hanya jadi pedoman saat ibadah. Namun, ketika beraktivitas, umat Islam justru mengambil aturan selain Islam. Inilah bentuk kemungkaran yang terbesar, yaitu meninggalkan syariat-Nya.
Oleh karena itu, untuk meluruskan kemungkaran seperti ini tidak bisa dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Akan tetapi, perlu institusi yang memiliki kekuasaan yaitu penerpaan syariat Islam dalam bingkai negara.