Halokaltim – Sejak sepekan terakhir, warga Kota Samarinda dipusingkan dengan sulitnya mendapatkan gas elpiji 3 kilogram di pasaran. Kalaupun ada, harganya pun melambung.
Wali Kota Samarinda Andi Harun mengatakan, kelangkaan gas elpiji bersubsidi bukan hanya terjadi di Kota Samarinda saja, melainkan seluruh Indonesia. Menurutnya, Pemkot Samarinda sudah berkomunikasi dengan pihak Pertamina untuk dapat segera mengatasi persoalan tersebut untuk mencegah terjadinya inflasi.
Ia sendiri membantah adanya pihak-pihak yang sengaja menimbun gas elpiji. Ia berkata, pihaknya tidak punya wewenang untuk mengatur distribusi gas elpiji karena itu wilayah Pertamina. (Headline Kaltim, 14/6/2023)
Analisis
Kelangkaan dan mahalnya gas menunjukkan abainya pemerintah dalam hal penyediaan kebutuhan umat. Apapun alasan kelangkaan gas tidak bisa diterima karena menyangkut kebutuhan masyarakat yang seharusnya diantisipasi. Sebab, pemerintah sejatinya berfungsi sebagai pengurus utama urusan rakyatnya. Terlebih terhadap pemenuhan kebutuhan pokok semisal gas.
Fatalnya, di tengah kelangkaan gas, impor gas tetap berjalan. Padahal tidak seharusnya gas diimpor ke luar apabila kebutuhan dalam negeri belum tercukupi. Selain itu, tidak seharusnya gas langka dan mahal di daerah yg kaya akan SDAE berupa gas. Namun, inilah bukti nyata dampak buruk bila SDAE ditata kelola dengan sistem Kapitalisme. Gas yang sejatinya milik umat menjadi bahan komersial. Hingga akhirnya, masyarakat pula yang merasakan deritanya.
Solusi Islam
Tentu saja kondisi ini akan sangat jauh berbeda jika konsep kepemimpinan dan tata kelola negara dikembalikan kepada Islam. Dalam Islam, kepemimpinan adalah wasilah bagi pengaturan urusan umat sesuai dengan tuntunan Zat Yang Menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta. Di dalamnya bukan hanya mengandung dimensi profan atau duniawiyah semata, tetapi juga dimensi ukhrawiyah.
Seorang pemimpin yang diangkat oleh umat, hakikatnya adalah penerima amanah dari Allah agar mengurusi rakyatnya sesuai dengan aturan-aturan Allah. Aturan-aturan Allah inilah yang akan menjamin tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan yang tentu secara fitrah didambakan oleh umat manusia manapun dan kapanpun.
Di saat yang sama, bagi Sang Pemimpin, konsistensi terhadap pelaksanaan aturan-aturan ini diyakini akan menjadi sumber kebahagiaan abadi atau sebaliknya menjadi sumber sesalan panjang di akhirat kelak.
Adapun dari sisi tatakelola negara, maka Islam telah memberi seperangkat aturan yang menolak berbagai bentuk kezaliman. Di antaranya tergambar dalam sistem politik ekonomi Islam yang berorientasi pada pemberian jaminan kesejahteraan rakyat person to person, bukan general. Sistem ini memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan asasinya dan beroleh kesempatan sebesar-besarnya untuk meraih taraf kehidupan yang tinggi melalui pemberian akses yang seluas-luasnya terhadap faktor-faktor ekonomi.
Kalaupun ada pembatasan syariat, maka itupun terkait dengan jaminan kemaslahatan hidup mereka dan jaminan atas tidak merebaknya kezaliman di antara mereka.
Di antara batasan atau aturan-aturan syariat tersebut adalah terkait konsep kepemilikan, mekanisme perolehan dan pengembangan kepemilikan serta pembelanjaan kepemilikan. Islam telah menetapkan benda-benda tertentu sebagai milik individu, milik negara dan milik umum.
Dalam konteks migas yang jumlahnya tak terbatas, Islam menetapkannya sebagai milik umum alias milik umat, bukan milik individu atau milik negara. Sehingga haram bagi negara melakukan swastanisasi, asingisasi maupun kapitalisasi.
Dalam konteks perolehan kepemilikan, maka Islam mengatur mekanisme yang sedemikian rinci dan solutif, hingga dengan mekanisme itu setiap individu dijamin memperoleh hak-hak dasarnya. Mulai dari mekanisme bekerja dalam berbagai bentuk bisnis halal, mekanisme penafkahan, infak sedekah dan zakat, hingga pemberian oleh negara dari harta milik negara, maupun pembagian manfaat dari hasil harta milik umum yang dikelola oleh negara dalam bentuk berbagai jaminan layanan publik maupun produk-produk yang dibutuhkan publik.
Terkait migas yang terkategori milik umat misalnya, maka sebagai pemilik kekuasaan dan pemegang amanah kepemimpinan, negara akan berusaha optimal mengelola dan memanfaatkannya untuk sebesar-besar kemaslahatan seluruh umat tanpa kecuali; laki-laki atau perempuan, kaya atau pun miskin. Negara yang berparadigma Islam tidak akan membiarkan ada pihak manapun baik personal maupun negara adidaya yang berniat menarik keuntungan hingga rakyatnya terzalimi.
Tak heran jika sepanjang kurun 13 abad kepemimpinan Islam eksis, rakyat yang hidup di dalam naungannya merasakan kesejahteraan yang luar biasa. Semua hak-haknya terpenuhi dengan baik, hingga mereka punya banyak kesempatan untuk membangun taraf hidup yang sedemikian tinggi yang nampak dalam bentuk peradaban dan produk-produk fisik (madaniyah) yang mencengangkan masyarakat dunia.
Di sepanjang itu pula umat Islam tampil sebagai pionir kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, sekaligus menjadi tempat belajar bagi Barat menemukan peradaban modern mereka. Inilah yang saat ini hilang dari tengah umat. Hingga kehinaan demi kehinaan dan kezaliman demi kezaliman akibat mereka menjauh dari paradigma kepemimpinan dan tata kelola negara Islam harus terus mereka terima.
Hidup sejahtera dalam naungan rezim kapitalisme neolib hanya menjadi angan-angan kosong dan mimpi-mimpi yang dijual oleh mereka yang rakus akan kekuasaan dan materi. Saatnya kita sadar bahwa seluruh persoalan umat, termasuk di dalamnya soal kapitalisasi migas yang menzalimi pemiliknya yaitu rakyat, hanya akan selesai jika umat kembali kepada Islam.
Pun di saat yang sama kita wajib mencampakkan sistem kapitalisme neolib yang sejatinya telah menjadi alat perampokan sekaligus penjajahan para kapitalis, baik lokal maupun internasional. Wallahu ‘alam.