Halokaltim.com – Anak-anak disabilitas di Kutai Timur (Kutim) tidak sedikit jumlahnya. Beberapa tempat belajar sudah menjadi sekolah inklusi namun jumlah pengajarnya yang masih belum mencukupi.
Seperti diketahui, saat ini di Kutim terdapat tiga sekolah luar biasa (SLB). Antara lain, SLB Sangatta (negeri), SLB Bahasa Hati, dan SLB Daarussalaam. Sementara itu, beberapa sekolah sudah menerapkan pengajaran inklusi, namun hanya tiga sekolah yang baru memiliki surat keputusan (SK) inklusi. Yakni, SD 004, SMP 1, dan SD YPPSB 3.
Kepala SLB Bahasa Hati, Maria Pohan mengatakan, saat ini sudah semakin banyak anak penyandang disabilitas. Dari tiga SLB di Kutim yang terdapat di Sangatta, jumlah ABK sudah mencapai sekira 200 anak. Itu terdiri dari berbagai jenis disabilitas. Antara lain, tuna netra, tuna rungu, autis, down syndrom, dan lain sebagainya.
“Saat ini sudah cukup banyak jumlah pengajar untuk anak ABK. Namun, pendidik yang benar-benar menguasai ilmu untuk menangani anak penyandang disabilitas belum cukup. Sebab, ada beberapa anak yang perlu tenaga pengajar khusus,” ungkap perempuan itu.
Terutama, lanjut Maria, bagi sekolah inklusi. Sebab, di sekolah inklusi ABK bergabung menjadi satu ruangan kelas dengan anak lainnya. Sewaktu-waktu, sebagian anak penyandang disabilitas bisa berubah emosionalnya dengan berbagai penyebab tertentu. Seperti bipolar, yang memungkinkan pengidapnya emosi marah tak terkontrol sehingga perlu ditempatkan di ruang khusus kedap suara.
“Maka dari itu, sekiranya perlu untuk meningkatkan pemahaman sekolah dan tenaga pendidik untuk menghadapi berbagai ABK. Golnya, mereka bisa membaur bersama anak lain seusianya dan tak dikucilkan. Artinya, perlu sama-sama memberi pengertian. Tentu saja itu dimulai dari pendidik,” ungkap dia.
Dijelaskannya, tiap anak penyandang disabilitas yang dianggap kebanyakan orang memiliki kekurangan, sebenarnya memiliki kelebihan tersendiri.
“Seperti beberapa ABK di Sangatta, ada anak penyandang autis, ternyata memiliki keahlian teknologi yang di atas rata-rata. Lainnya, ada pula anak tuna netra yang masuk 20 besar lomba catur tingkat nasional, padahal tidak bisa melihat,” paparnya.
Penggiat sosial ABK Sangatta, Basuki menyatakan, saat ini pun para orang tua dari ABK di Kutim masih belum begitu terbuka. Padahal, penting menurutnya untuk saling terbuka dan berbagi perihal anak penyandang disabilitas.
“Sebab, jika saling terbuka, mudah mengetahui keperluan dan bakat anak masing-masing. Pemerintah juga sekiranya perlu terlibat lebih jauh lagi,” tutur dia. (adv/ash)














