Opini  

Agar Hujan Berbuah Berkah Bukan Musibah

Rahmi Surainah, M.Pd.

Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd (Alumnus Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin)

HUJAN maka banjir sudah biasa melanda sebagian masyarakat di Kalimantan Timur. Sepekan sudah banjir berlalu, tetapi masih menjadi ancaman jika hujan. Tak hanya banjir, longsor pun jadi ancaman khususnya warga Samarinda.

Diberitakan warga yang bertempat tinggal di Tansari Regency, Tanah Merah, Kota Samarinda terhambat tanah longsor, Rabu lalu (14/9/2022).

Nevrianto (40) salah seorang warga setempat mengatakan, dirinya bersama warga setempat selama satu hari penuh nyaris tidak bisa keluar dari area perumahan. Lantaran akses jalan di perumahan tersebut terputus.

Tidak sampai di situ saja, luapan air cukup deras dari drainase yang tertutup longsor pun membanjiri sejumlah warga setempat dan satu rumah tak berpenghuni hancur.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Samarinda, Suwarso menyebutkan ada 31 titik banjir yang merendam Kota Tepian ini. Tidak hanya banjir, Suwarso juga menyebutkan ada 18 titik longsor terjadi di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur ini. (Tribunkaltim.co, 14/9/2022)

Tidak hanya di Samarinda, banjir juga terjadi di Mahakam Ulu pada 9-10 September 2022 lalu. Sempat membuat 503 jiwa mengungsi. Paling banyak berasal dari Kampung Long Lunuk sebanyak 308 jiwa. Di beberapa titik banjir sempat merendam setengah dinding bangunan. (Kaltimkece. co, 16/9/2022)

Demikianlah kondisi sebagian wilayah Kaltim yang beberapa hari lalu mengalami musibah banjir dan longsor. Masalahnya banjir dan longsor berulang di saat hujan deras. Padahal hujan merupakan berkah, tetapi mengapa justru jadi musibah?

Bukan Salah Hujan

Jika kita amati betapa luas hutan Kaltim seharusnya mampu menjadi resapan air pencegah banjir. Namun, luas lahan hutan Kaltim kini banyak beralih fungsi tidak lagi menjadi resapan air.

Oleh karena itu, penyebab banjir bukan faktor alamiah semata (hujan). Namun, akibat tata alam kapitalistik. Pertambangan, penggundulan hutan, pembangunan pemukiman, termasuk got dan saluran air hanya diperhatikan saat banjir saja.

Para kapitalis berperan di balik musibah banjir dan longsor. Keberadaan merekalah yang mengancam sumber daya alam kita. Tentu kebebasan yang dimiliki oleh para kapital tersebut didukung oleh ijin dan aturan yang dibuat penguasa. Kebijakan dan Undang-undang hanya berpihak pada para kapital bukan lagi kepada rakyat apalagi lingkungan.

Maraknya pertambangan tentu berakibat kerusakan lingkungan salah satunya banjir. Hal ini bermuara karena negara membolehkan Sumber Daya Alam dan energi (SDAE) dikuasai oleh swasta atau asing. Ideologi kapitalis menjadikan para kapital berkuasa, akhirnya pejabat pun memuluskan aksi mereka lewat ijin dan kebijakan.

Agar Hujan Berbuah Berkah

Islam sebagai agama yang mencintai alam pastinya memandang hujan sebagai Rahmat dari Allah Swt. Agar Hujan berbuah berkah maka Islam punya paradigma bagaimana mengelola lingkungan dan sumber daya alam.

Ulah manusialah kerusakan lingkungan sehingga ketika hujan datang alam tidak mampu lagi menampungnya. Oleh karena itu, sedari awal Islam fokus pada akar masalah penyebab segala kerusakan lingkungan.

Islam akan menghentikan tata kelola SDAE liberalistik dengan mengembalikannya kepada tata kelola SDAE Islam.

Rasulullah saw bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Islam juga melarang kepemilikan SDAE dikuasai oleh individu, swasta, atau asing. SDAE dalam Islam adalah kepemilikan umum dan dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan umat. Negara dalam Islam berkewajiban mengelola SDAE untuk dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk langsung atau pun tidak langsung seperti gratisnya biaya pendidikan, kesehatan, dan terjangkaunya harga kebutuhan pokok.

Pengelolaan SDAE dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan Islam secara totalitas karena saling terkait dengan sistem lain dan berakar dari sistem kehidupan.

Dengan dikuasainya SDAE oleh negara dalam sistem Islam dan pemimpin yang bertakwa maka akan meminimalisir kerusakan lingkungan. Masyarakat akan sejahtera dan lingkungan akan terjaga dari berbagai kerusakan.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Ruum: 41).

Wallahu’alam. (*)