Halokaltim.com – Satyameva Jayate yang bermakna ‘Hanya Kebenaran Yang Berjaya’ merupakan semboyan bahasa Sansekerta. Kebijaksanaan ini mungkin sama dengan kebijaksanaan masyarakat Indonesia yang selalu percaya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa dengan pernyataan seperti ‘Tangan Tuhan Bekerja’ bahkan lewat cara yang kadang tak disangka manusia itu sendiri.
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto mengatakan, mungkin itu pula yang kini dirasakan masyarakat Indonesia ketika seorang Marzuki Alie yang merupakan mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang menyampaikan kisah pengakuan SBY telah membuat Megawati Soekarnoputri ‘dua kali kecolongan’. Yakni pada tahun 2004, ketika maju sebagai calon presiden.
Padahal, lanjut Hasto, pada 2004 publik masih mengingat bahwa SBY yang bertindak sebagai seakan-akan sebagai sosok yang dizolimi.
“Dalam politik kami diajarkan moralitas politik yaitu satunya kata dan perbuatan. Apa yang disampaikan oleh Marzuki Ali tersebut menjadi bukti bagaimana hukum moralitas sederhana dalam politik itu tidak terpenuhi dalam sosok Pak SBY,” ungkap Hasto dalam keterangan tertulisnya.
“Terbukti bahwa sejak awal Pak SBY memang memiliki desain pencitraan tersendiri termasuk istilah ‘kecolongan dua kali’ sebagai cermin moralitas ersebut. Jadi kini rakyat bisa menilai bahwa apa yang dulu dituduhkan oleh Pak SBY telah dizolimi oleh Bu Mega, ternyata kebenaran sejarah membuktikan bahwa Pak SBY menzolimi dirinya sendiri demi politik pencitraan,” tambahnya.
Hasto membeberkan, dirinya mulai teringat sebuah kisah yang disampaikan oleh Alm. Prof. Dr. Cornelis Lay. Bahwa sebelum SBY ditetapkan sebagai Menkopolhukan di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri.
“Saat itu ada elite partai yang memertanyakan keterkaitan SBY sebagai menantu Pak Sarwo Edhie yang dipersepsikan berbeda dengan Bung Karno, dan juga terkait dengan serangan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996,” bebernya.
Namun, sambungnya, sikap Megawati Soekarnoputri yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan lalu mengatakan: “Saya mengangkat Pak SBY sebagai Menkopolhukam bukan karena menantu Pak Sarwo Edhie. Saya mengangkat dia karena dia adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Ada ‘Indonesia’ dalam TNI sehingga saya tidak melihat dia menantu siapa. Kapan bangsa Indonesia ini maju kalau hanya melihat masa lalu? Mari kita melihat ke depan. Karena itulah menghujat Pak Harto pun saya larang. Saya tidak ingin bangsa Indonesia punya sejarah kelam, memuja Presiden ketika berkuasa, dan menghujatnya ketika tidak berkuasa.”
“Begitu kata Ibu Megawati penuh sikap kenegarawanan sebagaimana disampaikan Prof. Cornelis kepada saya,” papar Hasto.
Dia mencoba menegaskan, apa yang disampaikan Marzuki Ali itu bagian dari dialektika bagi kebenaran sejarah.
“Dengan pernyataan Pak Marzuki itu, saya juga menjadi paham, mengapa Blok Cepu yang merupakan wilayah kerja Pertamina, paska pilpres 2004, lalu diberikan kepada Exxon Mobil. Nah kalau terhadap hal ini, rakyat dan bangsa Indonesia yang kecolongan,” pungkas Hasto. (*)
Editor : Raymond Chouda