Halokaltim.com – Dalam aksi unjuk rasa Aliansi Kutim Bergerak yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja, Kamis (8/10/20), sejumlah hal terjadi di kalangan mahasiswa demonstran.
Dalam unjuk rasa itu, tim gabungan melakukan pengamanan, yakni Polres Kutim bersama Kodim 0909 Sangatta dan Satpol PP Kutim. Mereka berjaga ketat di luar maupun dalam Gedung DPRD Kutim.
Dalam kejadian tersebut, pintu utama Sekretariat DPRD Kutai Timur pecah dua kali. Aliansi Kutim Bergerak membuat pers rilis sebagai klarifikasi hal itu. Bahwa, awal mula pecahnya pintu utama berbahan kaca di DPRD Kutim bukan disebabkan aksi perusakan oleh mahasiswa demonstran.
“Sebelum terjadi aksi dorong-dorongan, pintu kaca telah dikunci oleh salah satu petugas yang mengamankan jalannya aksi. Setelah terjadi aksi dorong-dorongan, beberapa aparat ingin masuk ke dalam gedung, dan entah bagaimana kunci tidak bisa terbuka, dan pada akhirnya memaksa beberapa aparat tersebut untuk membuka paksa sehingga terpecah. Padahal massa aksi masih berada di bawah tangga luar yang jaraknya cukup jauh dari pintu utama,” tulis Aliansi Kutim Bergerak dalam keterangan persnya di fanpage Aliansi Kutim Bergerak, Kamis (8/10/20) sekira pukul 21.00 Wita.
Dalam rilis lainnya, Aliansi Kutim Bergerak memberi keterangan terkait aksi di lapangan yang mereka anggap membuat mahasiswa tersudutkan.
“Sekitar pukul 12.30 Wita terjadi aksi dorong-mendorong, beberapa kawan dipukuli, dan diinjak. Tiga mahasiswa ditangkap paksa masuk ke dalam ketika bentrok sedang terjadi, membuat masa aksi terpukul mundur,” tulis Aliansi Kutim Bergerak, kemarin, sekira pukul 22.00 Wita.
“Kronologi sebenarnya, kaca pecah yang pertama, akibat aparat mengunci dari dalam dan tak bisa terbuka, sehingga dibuka paksa,” lanjutnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun halokaltim.com, pintu dengan sistem sensor buka-tutup otomatis tersebut sedang terganjal oleh kabel mikrofon. Saat itu staf Sekretariat DPRD Kutim dari dalam, dan aparat kepolisian dari luar, sedang berusaha untuk mengeluarkan kabel dari pintu tersebut. Lantaran tak bisa dibuka dengan alat, sentuhan yang menekan dari dalam dan luar diduga memicu pecahnya kaca tanpa disengaja.
Selanjutnya, Aliansi Kutim Bergerak mengaku, massa aksi sempat mendapat tekanan dari aparat keamanan.
“Beberapa kawan perempuan bahkan mengaku mendapat pukulan oleh aparat keamanan,” tambahnya.
“Saya dipukul bang, didorong, ini masih terasa sakit di lengan,” ujar Nuge salah satu peserta aksi.
Pukul 16.30 Wita, massa aksi diperbolehkan masuk namun hanya di Ruang Hearing DPRD Kutim, dengan kapasitas yang tidak sepadan dengan jumlah massa yang diperkirakan berjumlah ratusan. Hal itu membuat massa aksi tidak puas, dan meminta untuk dipindahkan ke ruang paripurna. Karena tidak diperbolehkan, massa aksi akhirnya walkout dan bertahan hingga pukul 18.00 Wita. Kemudian akhirnya membubarkan diri dengan kesepakatan akan melakukan demo lanjutan bersama kaum buruh, pada 11 Oktober 2020, dengan massa yang lebih banyak.
“Hingga saat ini beberapa kawan kami yang terluka masih melakukan rawat jalan di sekretariat,” tulisnya dalam keterangan pers.
Pintu Kedua
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, setelah pintu pertama pecah, massa demonstran tidak menyerah. Mereka tetap menyampaikan tuntutan kepada jajaran DPRD Kutim agar mendukung penolakan UU Ciptaker.
Aksi dorong-dorongan antara massa dan aparat keamanan berlangsung cukup ketat di depan Sekretariat DPRD Kutim. Sejurus itu, pintu utama bagian kanan yang juga berbahan kaca menjadi pecah berkeping-keping.
Rilis dari Aliansi Kutim Bergerak menyatakan, pecahnya pintu kedua pada aksi dorong-dorongan, dipicu dugaan tindakan represif dari aparat.
“Untuk yang selanjutnya pecah, aparat melakukan represifitas ke massa aksi,” tulis Aliansi Kutim Bergerak dalam rilisnya.
Luka Beling
“Akibatnya, beberapa kawan terluka cukup parah, terdapat luka gores cukup dalam di pergelangan tangan yang harus melakukan tindakan jahitan agar pendarahan dapat berhenti,” lanjutnya.
Pun begitu, dari kalangan aparat kepolisian, luka terkena beling juga menimpa Kasat Intel Polres Kutim AKP Urdianta Asta Praja, pada bagian lengan dan jari. Yakni berupa luka gores, yang pada saat dijumpai, telah ditutupinya dengan plaster luka.
“Tidak apa-apa. Ini biasa saja,” ucap Asta ketika ditanyai perihal lukanya oleh jurnalis halokaltim.com di dalam gedung Sekretariat DPRD, saat dirinya masih turut bertugas melakukan pengamanan kemarin.
Seperti tampak pada video yang diterima halokaltim.com, Astaf yang saat itu melakukan pengamanan terlihat sedang memegangi pintu kaca dari arah luar. Namun sesaat itu, diduga karena adanya saling tekan oleh staf Sekretariat DPRD Kutim dari dalam, pintu pecah seketika. Yakni pintu pertama yang pecah. Diduga, pecahan tersebut yang memberi luka pada bagian tangan dan jari Astaf.
https://youtu.be/70sR0Dio2SI
Selain luka beling, belakangan diketahui, seorang polisi wanita (polwan) dari Bagren Polres Kutim, Eka, sempat pingsan saat melakukan pengamanan. Dia terhimpit di antara massa saat berupaya mengamankan aksi unjuk rasa. Hal itu yang kemudian diduga menjadi pemicu aparat memukul mundur massa aksi.
Unjuk Rasa dengan Protokol Covid-19
Kapolres Kutim AKBP Indras Budi Purnomo mengatakan, unjuk rasa tersebut tetap dalam pengawasan dan pengamanan pihak aparat kepolisian dengan jumlah sebanyak 150 personel dari Polres Kutim, beserta tambahan dari personel Kodim 0909 Sangatta dan Satpol PP Kutim. Para mahasiswa demonstran telah diminta untuk berunjuk rasa dengan tetap mematuhi protokol kesehatan agar mengurangi resiko penyebaran covid-19.
“Kami berupaya agar bisa mengakomodir aspirasi-aspirasi mahasiswa yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, tapi tetap dengan aman, damai, dan sehat,” ucap Indras di sela kegiatan pengamanan unjuk rasa.
Dia menyatakan, tidak ada unsur kampanye dalam aksi unjuk rasa tersebut. Semuanya adalah murni tentang upaya gabungan mahasiswa menyuarakan tentang aspirasi penolakan UU Ciptaker ke DPRD Kutim.
“Kami mengupayakan agar unjuk rasa berlangsung dengan kondusif, dan kami batasi sampai jam 18.00 Wita, sesuai SOP (standar operasional prosedur) massa akan dibubarkan,” ungkap Indras.
Sorotan Mahasiswa
Sebelumnya, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kutim, Sept Agis menjelaskan, sejak awal pembentukan RUU Omnibus Law sudah ada kejanggalan dalam proses pembentukannya. Mulai dari pembahasan yang tidak transparan dan tidak partisipatif.
Berita terkait :
VIDEO Detik-detik Pecahnya 2 Pintu Utama DPRD Kutim dalam Unjuk Rasa Omnibus Law
GMNI, menurut dia, selama ini memberi perhatian khusus terhadap pasal-pasal yang tidak menguntungkan para pekerja. Termasuk pasal yang mengilangkan pidana korporasi, serta pasal yang mengurangi peran daerah sebagai daerah otonomi.
“Kami tidak ingin pemberlakuan UU Omnibus Law ini, yang diciptakan dengan niat memperbaiki kekurangan dari UU yang ada, justru membuat keadaan semakin kacau dan rakyat kecil semakin tertindas,” tegas Agis. (mon)
*Artikel ini telah direvisi pada bagian alinea 7, 8, dan 22, yakni untuk mencocokkan dengan data di lapangan. Revisi dilakukan pada 10 Oktober 2020, pukul 20.28 Wita.