Halokaltim, Samarinda – Konflik antara warga dan perusahaan tambang kembali menyita perhatian publik di Kalimantan Timur. Kali ini, kasus pidana yang menimpa Mustafa, seorang warga yang berselisih dengan perusahaan tambang PT Multi Harapan Utama (MHU), menyulut perdebatan tentang keadilan, kemanusiaan, dan ketimpangan kuasa.
Mustafa kini harus menghadapi proses hukum yang menurut sebagian pihak seharusnya bisa diselesaikan di luar jalur pidana. Di tengah kontroversi ini, DPRD Kalimantan Timur angkat bicara. Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandy, meminta agar MHU mencabut laporan pidana terhadap Mustafa. Baginya, persoalan ini tak semata-mata soal hukum, tetapi tentang etika sosial dan moral kemanusiaan.
“Yang kedua masalah pak Mustafa, masalah pidananya ya tentu kita harapkan ini jadi pelajaran buat kita semua dan kita minta kepada MHU untuk berbesar hati mencabut karena ini… nda lawannya lah pak Mustafa kan dengan MHU itu, besar sekali MHU dibandingkan pak Mustafa. Ada kemanusiaan juga disitu,” ujar Agus saat diwawancarai, Jumat (24/5/2025).
Pernyataan itu menggambarkan ketimpangan relasi antara warga dan korporasi. Dalam berbagai konflik agraria atau pertambangan di Kalimantan Timur, warga acap kali berada pada posisi lemah: tidak memiliki daya tawar, tak paham prosedur hukum, dan sering kali hanya ingin mempertahankan ruang hidupnya.
Agus berharap MHU menunjukkan kebesaran hati untuk menyelesaikan perkara ini secara damai, bukan melalui jalur hukum yang panjang dan berpotensi memperlebar luka sosial di masyarakat. Ia menilai penyelesaian secara kekeluargaan akan lebih menguntungkan semua pihak dan memberi ruang untuk dialog yang sehat.
“Kalo bisa dicabut lebih bagus dibicarakan baik-baik sehingga ada kesepakan tidak lagi mengulang gitu lho,” tambahnya.
Kasus Mustafa disebut melibatkan unsur ancaman dan dugaan penggunaan senjata. Ini membuat perkara masuk dalam ranah pidana murni, bukan hanya delik aduan. Namun bagi Agus, hal ini seharusnya menjadi refleksi kolektif, bukan hanya alasan untuk menghukum.
“Karena ini kan masalahnya, masalahnya baik delik aduan maupun pidana murni masuklah disitu, bawa senjata apalagi mengancam. Ini pelajaran buat masyarakat semua juga, jangan sampai kita juga ada kasus pidana seperti itu,” pungkasnya.
Agus tidak membela tindakan Mustafa, tapi ia juga tidak ingin masyarakat kecil terjerat kriminalisasi jika masih ada ruang untuk penyelesaian yang lebih adil dan manusiawi. Menurutnya, kasus ini harus menjadi pembelajaran bersama agar ke depan warga tidak gegabah dalam menghadapi konflik, sementara perusahaan juga tidak mudah melaporkan warga ke jalur hukum hanya karena gesekan di lapangan.
PT MHU merupakan salah satu perusahaan tambang besar di Kalimantan Timur yang memiliki pengaruh kuat di wilayah operasinya. Ketika konflik terjadi antara warga dan perusahaan semacam itu, muncul pertanyaan besar: sejauh mana negara hadir untuk menjembatani ketimpangan?
DPRD, dalam hal ini Komisi I, mencoba memainkan peran sebagai penengah. Tidak hanya mengawasi jalannya hukum, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial antara kepentingan ekonomi dan hak-hak warga.
Kasus Mustafa mungkin hanya satu dari sekian banyak konflik serupa. Namun intervensi DPRD menunjukkan bahwa ranah politik lokal mulai membuka ruang kritik terhadap dominasi korporasi yang selama ini nyaris tak tersentuh.
Pernyataan Agus Suwandy tidak hanya ditujukan kepada MHU, tetapi juga kepada semua pemangku kepentingan: pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Ia menyerukan agar penyelesaian secara dialogis diutamakan. Langkah ini bukan hanya demi Mustafa, tetapi juga demi mencegah konflik serupa terulang kembali.
Kemanusiaan, dalam kasus ini, menjadi batas moral yang ditawarkan DPRD. Sebab, ketika hukum bertemu dengan kuasa, keadilan bisa menjadi korban. (adv-DPRD KALTIM).
