Halokaltim, Tenggarong – Tak semua orang lahir dengan kecerdasan istimewa, dan tak semua yang memilikinya memilih untuk tampil mencolok. Di tengah arus politik yang sering kali riuh dan penuh retorika, seorang pria pendiam dari Kota Bangun muncul dengan hasil mengejutkan dari pemeriksaan psikologisnya—IQ sangat superior.
Itu bukan sekadar angka di atas kertas. Bagi dr. Aulia Rahman Basri, M.Kes, hasil itu mengafirmasi apa yang selama ini telah diam-diam tumbuh dalam dirinya: kapasitas intelektual luar biasa yang kini siap ia dedikasikan untuk tanah kelahirannya, Kutai Kartanegara.
Dalam hasil pemeriksaan psikologi resmi yang dikeluarkan oleh RSUD Aji Muhammad Parikesit Tenggarong, tercatat bahwa Aulia memiliki tingkat kecerdasan yang masuk kategori “sangat superior”—sebuah capaian yang hanya dimiliki oleh sekitar 2 persen populasi dunia. Artinya, ia berada dalam kelompok elite secara intelektual, dengan kemampuan menganalisis, memahami, dan menyelesaikan persoalan pada tingkat yang jauh di atas rata-rata.
Hanya sekitar 2 persen populasi memiliki IQ 130 atau lebih adalah berdasarkan distribusi normal (kurva lonceng) yang digunakan dalam pengukuran IQ. Skor IQ dirancang dengan rata-rata 100 dan standar deviasi 15 (pada skala Wechsler atau Stanford-Binet yang umum). Dalam distribusi ini, skor 130 berada pada persentil 98, yang berarti hanya sekitar 2 persen orang di populasi umum mencapai atau melampaui angka tersebut.
Kategori ini dikenal sebagai kelompok dengan “very superior intelligence” dalam klasifikasi psikologi. Mereka umumnya mampu menyerap informasi kompleks dengan cepat, berpikir strategis, serta mengambil keputusan berbasis analisis mendalam—kemampuan yang sangat relevan bagi seorang pemimpin daerah.
Namun, kecerdasan itu tak pernah menjadi alat untuk Aulia menyombongkan diri. Justru, ia tumbuh dari sosok siswa yang tenang, jarang bicara, tapi menyimak dengan cermat.
“Anaknya itu masuk kategori pendiam. Tapi saat sesi belajar dia aktif. Ketika ditanya, dia menjawab. Saat berdiskusi, dia nyambung. Dia juga enak diajak kerja kelompok,” kenang Syaidah, guru Bahasa Inggris di SMAN 8 Samarinda—tempat Aulia menempuh pendidikan menengah atas.
Syaidah mengenang Aulia sebagai siswa yang tak hanya pintar dalam akademik, tapi juga menunjukkan bakat kepemimpinan sejak muda. Ia menjabat sebagai Ketua OSIS, satu posisi yang membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan berorganisasi—tetapi juga integritas dan tanggung jawab.
“Dia antusias dalam belajar. Bukan yang suka tampil-tampil, tapi punya semangat tinggi. Terbukti bisa masuk Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin lewat jalur PMDK,” tambah Syaidah.
PMDK, atau Penelusuran Minat dan Kemampuan, adalah jalur seleksi tanpa tes yang hanya diberikan kepada siswa dengan rekam jejak akademik dan non-akademik istimewa. Itu menjadi bukti lain bahwa Aulia tak hanya cerdas, tapi konsisten menapaki jalur prestasi sejak awal.
Kini, dengan hasil tes psikologi yang menunjukkan mood stabil (euthymia), pemikiran realistis, sikap kooperatif, dan tidak adanya indikasi gangguan kepribadian, Aulia berada dalam posisi yang sangat siap secara psikologis untuk mengemban tanggung jawab besar sebagai pemimpin daerah.
Di tengah iklim politik yang semakin kompleks, kehadiran figur seperti Aulia Rahman Basri—yang cerdas secara kognitif, stabil secara emosional, dan matang secara sosial—menawarkan harapan akan lahirnya model kepemimpinan baru yang berbasis pada kapasitas intelektual dan integritas pribadi.
“Walaupun sudah menjadi pemimpin, tetaplah seperti ilmu padi. Semakin berisi, semakin menunduk,” pesan Syaidah menutup perbincangan, dengan nada yang menggambarkan harapan seorang guru kepada murid yang ia banggakan.
Dan mungkin, itulah tantangan terbesar bagi seorang Aulia: menjaga kejernihan pikir dan kerendahan hati, dalam langkahnya menuju pucuk pimpinan Kutai Kartanegara. (*)