Upaya Sistemik Mengembalikan Citra Guru Yang Digugu dan Ditiru

Oleh : Hafizah D.A., S.Si.

Dunia pendidikan Balikpapan tercoreng wajahnya. Dalam 3 bulan terakhir saja, sudah jatuh 2 vonis dan 1 perkara sedang dalam proses persidangan atas kasus pencabulan yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Kasus tebaru dilakukan oleh guru laki-laki berinisial HRS yang berstatus P3K di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Balikpapan Utara. Korbannya adalah 4 orang siswi. Sebelumnya, pada bulan September lalu, SMR, seorang guru laki-laki pengajar pelajaran agama telah dijatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah atas kasus pencabulan anak di bawah umur. Masih di bulan September, KI, seorang guru laki-laki pengajar olahraga di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang juga pelatih salah satu cabang olahraga, tega mencabuli anak didik sekaligus atlet binaannya yang masih berusia 16 tahun. Sang guru bejat pun divonis pidana penjara selama 10 tahun serta denda sebesar 2 miliar rupiah. (http://www.prokal.co , 21/11/2024)

Rupanya, kegegeran ini tak hanya terjadi di Balikpapan. Sebelumnya di bulan Oktober 2024, di Kecamatan Samarinda Seberang juga telah terjadi penangkapan atas seorang guru mengaji laki-laki berinisial W (66 tahun). Ia rupanya telah berulang kali melakukan tindakan pencabulan atas murid mengajinya sejak bulan Juli 2024. (http://www.headlinekaltim.co, 26/10/2024)

BUAH PAHIT SISTEM

Miris, tenaga pendidik yang harusnya menjadi panutan untuk digugu dan ditiru ternyata menjadi pioner tindak perbuatan tercela terhadap anak didiknya. Terlebih lingkungan sekolah adalah institusi yang diharapkan orang tua untuk bekerja sama dalam mengasuh, melindungi dan memberikan rasa aman kepada anak-anak di luar area lingkungan keluarga.

Hal ini niscaya terjadi karena tenaga pendidik era sekarang juga merupakan buah pahit dari sistem pendidikan kapitalis sekuler yang diterapkan oleh Negara. Dalam kurikulum pendidikan sekuler, agama tidak dijadikan pondasi. Agama hanya menjadi salah satu bagian dari materi pengajaran saja. Sekadar mengajarkan hafalan dan ibadah, tanpa menanamkan hubungan keterikatan manusia dengan Allah sebagai Al Khalik sekaligus Al Mudabbir. Hasilnya adalah iman setipis kuit bawang yang memungkinkan berbagai tindak tercela (baca : maksiat) dilakukan oleh tenaga pendidik.

Peluang melakukan kemaksiatan juga makin terbuka lebar dengan gaya hidup serba permisif yang dibawa oleh globalisasi melalui media elektronik. Berbagai konten pornografi dapat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk tenaga pendidik dan siswa, tanpa perlindungan memadai.

Sistem pendidikan kapitalis sekuler juga menitikberatkan keberhasilan capaian pendidikan pada materi, yaitu nilai, prestasi, dan keberhasilan karier. Hal ini menyebabkan tenaga pendidik akhirnya menjadi penyetir siswa didik untuk berperilaku sekuler dan liberal. Menghalalkan segala cara untuk tujuan keberhasilan semu. Pada akhirnya, terbentuk peserta didik yang dengan gampangnya melakukan berbagai perbuatan keji seperti marak terjadi sekarang ini. Sebutlah perundungan, tawuran, miras dan narkoba, pergaulan bebas, perzinaan remaja, penyakit menular seksual, aborsi, bahkan pembunuhan.

Kurikulum pendidikan sekarang membuat tenaga pendidik akhirnya lebih banyak disibukkan oleh berbagai tugas adminstrasi. Jika tak memenuhi syarat akan berefek pada gaji ataupun tunjangan profesi, yang akhirnya berimbas pada pemenuhan kebutuhan pokok hidup keluarga. Pekerjaan ganda atau lebih di luar profesi mengajar pun mereka jalankan agar dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Akhirnya, tugas utama sebagai pengajar dan pendidik menjadi terabaikan.

Belum lagi karakter masyarakat sekarang sangat individualis sebagai efek negatif dari sistem kehidupan sosial yang sekuler dan liberal. Demokrasi yang menjunjung tinggi HAM membuat permisifitas perilaku makin kencang tanpa boleh ada kritikan. Mau maksiat yang dilakukan, asalkan tidak merugikan orang lain, silakan saja.

Di atas semua itu, mengapa terus saja berulang kasus pelecehan seksual oleh tenaga didik, adalah karena sistem sanksi demokrasi sekuler yang tak memberikan efek jera.

Padahal sudah ada beberapa perangkat payung hukum yang ditegakkan. Antara lain Peraturan Kemenag No.73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan dan Permendikbud ristek No. 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Opsi sanksi yang diberikan pun beraneka macam mulai sanksi ringan berupa teguran dan pernyataan maaf sampai sanksi berat yaitu PHK dan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak 5 miliar rupiah, ditambah 1/3 hukuman karena pelaku adalah tenaga pendidik. Tetapi nyatanya, seluruh opsi sanksi tersebut tak membuat takut dan bahkan mandul dalam mencegah terjadinya kejahatan berulang.

RASA AMAN HAKIKI

Mengapa tidak menyolusi problem kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan sistem Islam? Yang jelas pasti sumber aturannya dan pasti membawa ketenangan. Karena Islam bukan hanya sekedar aqidah. Tetapi juga mengandung sistem peraturan kehidupan komprehensif yang langsung bersumber dari Allah Sang Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur.

Dengan penerapan seperangkat aturan menyeluruh dan berkesinambungan mulai dari sistem pencegahan dalam sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem sosial, sistem media dan informatika, sampai sistem sanksi yang bersifat menjerakan dan menebus dosa. Niscaya bukan hanya capaian pengentasan kasus kekerasan seksual yang didapat. Tetapi bahkan terbentuk peserta didik yang beraqidah kokoh dan berkepribadian Islam. Dengannya, tak mudah melakukan kemaksiatan. Bahkan menjadi pemimpin yang menyolusi permasalahan rakyat dan mengantarkan negara menjadi terdepan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di pentas dunia.

Wallahualam.