Ketahanan Pangan Sulit, Dominasi Tambang Pun Berdampak Penyakit

Mira Ummu Tegar, Aktivis Muslimah Balikpapan. (*/ist)

Halokaltim – Berbicara mengenai ketahanan pangan maka tidak akan lepas dari sektor pertanian serta ketersediaan lahan pertanian pangan. Begitupun halnya dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mengenai ketahanan pangan diwilayahnya.

Setidaknya dibutuhkan lahan pertanian seluas 25.600 hektar atau 10% dari luas Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk memenuhi kebutuhan pangan 1.9 juta penduduk IKN pada 2045 dan sekaligus mewujudkan ketahanan pangan di wilayah itu.

Dalam hal ini Otorita IKN (OIKN) akan mengupayakan perluasan lahan pertanian di kawasan pengembangan dan menetapkan lahan yang sudah ada sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), demi memenuhi target tersebut.

Menurut Plt.Direktur Ketahanan Pangan OIKN, Setia P. Lenggono, saat ini lahan pertanian existing di wilayah IKN baru 24.709 ha (9,64% luas wilayah IKN). Hal ini merupakan modal awal strategi ketahanan pangan IKN yang merupakan salah satu prinsip utama dari ekonomi sirkular pangan dalam pembangunan IKN.

“Kalau melihat sebaran lahan di IKN, luas lahan pertanian existing tidak terlampau luas, hanya 24.709 ha, kami punya tanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya 10% lahan di IKN untuk kawasan pertanian berkelanjutan yakni 25.600 ha, jadi kami butuh pengembangan lagi sekitar 1.000 ha untuk memastikan zona pertahanan berkelanjutan ini,” ujar dia.( Investor.id 12/7/2023).

Kepedulian dan perhatian pemerintah untuk memastikan kebutuhan makanan pokok masyarakat terutama makan sehat dan terpenuhinya kebutuhan pangan patutlah diapresiasi, namun melihat fakta bahwa Kaltim merupakan wilayah pertambangan dan penggalian rasanya sulit untuk mewujudkan program ketahanan pangan tersebut. Ini terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang rutin merilis naik turunnya pertumbuhan ekonomi Kaltim selalu tergantung pada sektor ini, artinya dominasi sektor pertambangan dan penggalian sangat berpengaruh dalam menentukan perekonomian Kaltim. Sehingga tidak jarang kemudian lahan pertanian justru beralih fungsi menjadi pertambangan

Tidak bisa di pungkiri pertambangan khususnya batu bara adalah sektor yang mudah dan cepat mendatangkan cuan dalam jumlah yang besar. Hal ini pula yang kemudian menjadikan sektor pertanian sulit berkembang di Kaltim, meskipun resiko dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat pertambangan juga besar.

Dampak lingkungan akibat dari pertambangan sudah hampir menjadi hal yang biasa di wilayah Kaltim, mulai dari bencana longsor, banjir hingga pencemaran air, tanah dan udara. Hal ini kemudian yang juga berdampak bagi sektor pertanian. Resiko banjir dan tanah longsor mengakibatkan banyak lahan pertanian yang tertimbun lumpur limbah galian tambang. Tercemarnya air sungai dan tanah tentu akan berimbas pada konsumsi air bersih warga serta merusak ekosistem lahan pertanian untuk bisa ditanami, jikapun bisa bertahan tentulah resiko dari hasil pertanian akan membahayakan bagi yang mengkonsumsinya karena tentu tidak menutup kemungkinan hasil pertanian tersebut sudah terpapar zat berbahaya bagi tubuh manusia.

Pada aktivitas pertambangan terutama batu bara secara masif merusak kualitas dan kuantitas lahan hijau, baik sejak pengeboran hingga pengolahan. Aspek air, tanah dan udara pun menjadi tercemar akibat bahan toksik yang diantaranya terkandung arsenik, merkuri, berilium, timbal dan sebagainya. Puncak dari rusaknya lingkungan dan ketidakseriusan dalam pemanfaatan hasil tambang serta pengelolaan limbah pertambangan menimbulkan masalah kesehatan bagi warga sekitar, seperti penyakit gangguan pernapasan hingga kanker. Dan hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemprov Kaltim dalam mewujudkan program ketahanan pangan tersebut.

Namun demikianlah sistem sekuler kapitalisme bekerja, kemaslahatan warga akan kalah dengan kepentingan para korporat oligarki dalam memenuhi ambisinya. Sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan tolak ukur aktivitasnya adalah nilai materi pastilah akan menyingkirkan penghalang terwujudnya tujuan tersebut meski hal tersebut akhirnya mengorbankan kemaslahatan dan mendzolimi banyak orang.

Sistem ekonomi kapitalisme yang mengusung kebebasan berkepemilikan, menjadikan para korporat oligarki mampu menguasai sumber-sumber hajat hidup orang banyak. Wilayah strategis penghasil cuan akan mudah dikuasai melalui regulasi penguasa, karena sejatinya negara dalam sistem ini hanya sebagian regulator dan bahkan menjadi fasilitator para korporat oligarki.

Demikianlah sulitnya sektor pertanian mewujudkan ketahanan pangan serta pertaruhan kesehatan masyarakat menjadi tumbal di sistem ini. Berbeda jauh dengan sistem pemerintahan Islam yang lahir dari prinsip-prinsip ilahi, pastilah akan mewujudkan kemaslahatan dan kemuliaan umat secara manusiawi.

Dalam Islam, pertambangan yang memiliki deposit melimpah merupakan kepemilikan umat/rakyat maka pengelolaannya wajib bagi negara, haram hukumnya diserahkan ke swasta lokal apalagi asing. Sehingga tidak akan menimbulkan simalakama antara sektor tambang atau sektor pertanian serta memperhatikan tata kelola wilayah agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, seperti halnya di sistem Kapitalisme. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput dan api,” (HR. Ibnu Majah).

Pangan merupakan kebutuhan mendasar/pokok bagi setiap individu rakyat maka dalam Islam, negara wajib memenuhi akan ketersediaan pangan yang sehat dan bergizi, hal ini dilakukan dengan mekanisme pembukaan dan pemberian lahan bagi yang mampu mengelolanya dan menarik kepemilikan lahan oleh negara jika lahan tersebut selama 3 tahun terbengkalai tidak diurusi untuk diserahkan kepada yang mampu mengurusinya. Negara akan mensupport sektor pertanian dari ketersediaan lahan, proses penanaman hingga pemasaran dan distribusi hasil panen petani.

Kesehatan dalam Islam merupakan kebutuhan pokok kumunal masyarakat. Wajib bagi negara menyediakan secara langsung dan cuma-cuma, baik sarana prasarananya, nakes dan alkes hingga tindakan preventif dalam menjaga keberlangsungan kesehatan rakyatnya. Maka hal yang kemudian dapat mengancam keselamatan dan kesehatan rakyat seperti halnya pembukaan lahan tambang yang berpotensi merusak lingkungan dan kesehatan rakyat maka hal ini memdapat tindakan tegas dari negara berupa menutup pertambangan tersebut.

Setidaknya demikian Islam dalam meriayah/mengurusi urusan rakyatnya hingga tercipta kemaslahatan dan kenyamanan ditengah-tengah masyarakat. Karena sejati pemimpin dalam pemerintahan Islam yakni Khalifah adalah orang yang bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,” (HR. Al Bukhari). Wallahu a’lam bishowab.