Opini  

Makna Merdeka

Oleh: Husain Heriyanto (Direktur Lingkar Kaji Filsafat) 

MAKNA merdeka ada dua macam/level, yaitu:

  • merdeka dari (freedom from)
  • merdeka untuk (freedom for)

“Merdeka dari” berlaku pada ranah sosial, yaitu kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan, diskriminasi, pengekangan HAM, pembodohan, tipu daya, ketergantungan, ketakutan, penindasan, intimidasi dan pelbagai macam belenggu sosial.

“Merdeka untuk” berlaku pada ranah eksistensial-kemanusiaan, yaitu kapasitas penuh untuk menjadi manusia utuh (to be human) melalui aktualisasi potensi-potensi khas manusiawi, yaitu intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas.

“Merdeka dari” ada batasan dan rambu-rambu; disebutkan misalnya “kebebasan” dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan ini merupakan kebebasan sosial.

“Merdeka untuk” tidak ada batasan kecuali prinsip realitas itu sendiri, yaitu kebenaran. Tidak ada yang bisa membatasi aktualisasi kemanusiaan seseorang kecuali dirinya sendiri. Apa itu? Kebodohan, kejahilan murakkab (tidak tahu bahwa ia tidak tahu), lemahnya kehendak, kedangkalan wawasan, pendeknya pikiran, ketaksadaran-sedang-berproses menjadi manusia, rendahnya watak dan perangai.

Dengan kata lain, jika Anda masih jauh dari kapasitas manusia Hayy bin Yaqzhan (The Alive son of Awakening), yang mampu otodidak-otonom menemukan dan merenangi lautan kebenaran-realitas, tidak ada yang Anda kutuk kecuali diri Anda sendiri yang tertidur lelap innahu kaana zhaluuman jahuulan (Sesungguhnya kebanyakan manusia itu menganiaya diri sendiri dan tidak mengenal diri sendiri), demikian firman Tuhan dalam Al-Quran 33:72.

Setiap kali saya tanyakan apa yang dimaksudkan dengan *”memanusiakan manusia”*, kepada mahasiswa (S1, S2, S3), rekan sarjana, aktivis sosial, agamawan, dan banyak orang, hampir semuanya menjawab terbatas pada ranah tindakan (to do) seperti berbuat baik, menolong sesama, membela yang lemah, melawan kejahatan, dan seabrek daftar kewajiban moral.

Jawaban itu tentu tidak salah; itu benar. Yang mengagetkan adalah ketika didesak untuk mendeskripsikan jawaban, mereka hanya berkutat pada ranah aksiologis; nyaris tak ada yang merujuk ranah to know apalagi ranah to be.

Sangat sedikit yg menjawab “memanusiakan manusia” itu adalah meningkatkan pengetahuan dan wawasan, memurnikan jiwa dan seterusnya.

Dan, nyaris tak ada yang menjawab “memanusiakan manusia” itu adalah mengenal jati diri sebagai manusia, berani mengada diri sendiri (the courage to be), miliki kemandirian dalam berpikir dan bersikap.

Ternyata, sinyalemen ayat Al-Quran itu adalah benar adanya (demonstratif, burhan), bukan dialektika dan retorika.

Saya pun khawatir tergolong ke dalam manusia yang aniaya dan jahil diri sendiri !

Laa hawla wa laa quwwata illa billaah. (*)