Menginjak hingga satu tahun, angka positif covid-19 tidak juga mengalami penurunan. Bukan hanya di titik episentrum ibukota negara, melainkan angka daerah pun juga masih ikut menanjak. Mulai dari sisi infeksi hingga angka kematian.
OPINI OLEH : Fani Ratu Rahmani (Aktivis Dakwah dan Pendidik)
Demikian pula yang terjadi di Kota Beriman, alias Balikpapan. Program PPKM mikro sudah digalakkan sebagaimana kebijakan pusat, namun kasus belum juga menunjukkan penurunan signifikan.Tingkat penyebaran Covid-19 di Kota Balikpapan pun masih cukup tinggi, rata-rata penambahan sekirar 200 hingga 300 orang per hari.
Bahkan dalam satu minggu pertama di bulan Februari 2021, Satgas Covid-19 Kota Balikpapan mencatat 44 kasus kematian. Artinya, 7 orang meninggal dalam satu hari. (sumber : Tribun Kaltim, 11 Februari 2021)
Keadaan ini berdampak pada sikap pemerintah yang mulai mengalami kewalahan. Tampak dari sisi sumber daya manusia, data, dan kerugian finansial. Ini terjadi mulai dari level daerah sampai pusat. Bisa dikatakan, wabah ini membuat berbagai pihak ‘lelah’ karena beragam kebijakan tidak juga menyelesaikan.
Ada baiknya, penguasa serta pelaku kebijakan daerah mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan saat ini. Evaluasi itu diperlukan agar mampu melihat letak kesalahan, apakah hanya sekadar efektivitas atau substansi dari kebijakan. Sebab, jika hanya soal efektivitas tentu ini hanya bicara soal waktu dan perbaikan teknis, namun jika mengakar hingga substansi kebijakan maka harus diubah hingga hal mendasar.
Kenyataannya, kebijakan yang lahir berpijak pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Kebijakan yang lahir pun sarat dengan beragam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Pertimbangan ekonomi selalu diutamakan sejak kemunculan wabah ini, contoh saja pemerintah menolak lockdown dengan alasan ekonomi.
Dengan kebijakan yang selalu ingin roda perekonomian terus bergerak, tentu masyarakat bertanya tentang prinsip kemanusiaan. Dalam arti, seharusnya di tengah wabah seperti ini, mengapa tidak mengutamakan nyawa masyarakat daripada keuntungan negara dan para kapitalis?
Inilah fakta yang terjadi, ketika negeri ini diatur dengan ideologi kapitalisme. Kapitalisme jelas ambruk saat pandemi, kerugian hingga resesi pun terjadi. Bahkan, di Amerika pun ekonomi mandeg, China juga demikian. Namun, tentu tidak ada kapitalis yang ingin alami kerugian terus-terusan, mereka ingin ekonomi kembali pulih, pemasukan kembali lancar, dan keuntungan pun juga berlipat ganda.
Oleh sebab itu, banyak nyawa yang melayang tapi pemerintah masih memikirkan tentang pemulihan ekonomi. Bahkan di negeri ini, menggalakkan bagaimana sektor pariwisata tetap bisa berjalan di tengah pandemi. 5M dan 3T disosialisasikan tapi realisasinya tetap mempertimbangkan ekonomi.
Ini menunjukkan kebijakan yang lahir, bukan hanya salah dari segi efektivitas.
Justru, kebijakan ini bathil secara substansial. Akarnya karena ideologi kapitalisme. Ideologi ini adalah ideologi rusak dan merusak, dan juga haram diambil oleh kaum muslim. Karena asas ideologi ini sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan, juga menjadikan hukum manusia di atas hukum Allah, pencipta manusia.
Berbeda dengan Islam. Islam adalah aturan yang sempurna, sebagaimana Allah katakan di dalam Al qur’an :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..” (TQS Al Ma’idah ayat 3)
Islam juga memiliki sudut pandang khas tentang nyawa manusia. Nyawa manusia adalah sesuatu yang berharga.
Rasulullah SAW bersabda :
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Oleh sebab itu, perlu kita pahami bahwa salah satu maqasid syari’ah (tujuan penerapan syariah) adalah hifzun nafs (penjagaan jiwa). Syariah Islam sesungguhnya mewujudkan kemaslahatan salah satunya adalah jiwa yang terjaga. Dan ini bukan hanya tugas individu tapi hingga level negara.
Islam memandang masalah wabah ini secara integral, bukan cuma sekadar dari ilmu kesehatan saja. Benar adanya bahwa ada peran ahli kesehatan, tapi tetap semua harus dikendalikan oleh negara. Negara tidak bisa menyerahkan pada ahli dan tenaga kesehatan, sementara kebijakannya bertentangan. Apalagi, membiarkan rakyat kelaparan apabila mobilitas dibatasi oleh negara.
Sehingga, negara dalam Islam mempunyai tanggung jawab sebagai raa’in atau pengurus. Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam yang mana menjadikan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat juga penting. Dan ini mesti diurus oleh negara. Justru apabila negara berlepas tangan, yang terjadi seperti sekarang yakni kesengsaraan. Dan islam pun selalu memiliki skala priotitas dalam Menghadapi kondisi darurat sehingga rakyat tidak menjadi tumbal.
Hal ini hanya dapat terwujud apabila kita kembalikan kehidupan Islam seperti di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin lalu. Ketika Islam Kaffah diterapkan sempurna dan berbagai problematika bisa diselesaikan dengan tuntas. Kembali pada khilafah adalah solusi, solusi Islam adalah jurus jitu untuk seluruh masalah manusia. Ayo, kita sama-sama memperjuangkan Islam dalam naungan khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bish shawab. (*)
