“Seorang Anak Dibunuh, Ketika Ibunya Sedang Mabuk di Pub”. Judul berita itu ditulis oleh sebuah media terkemuka. Apa yang aneh dari judul tersebut? Ada dua penafsiran yang terkandung dalam judul tersebut. Pertama, penggunaan kata pasif “dibunuh” memungkinkan penulis menyembunyikan pelaku, yang bisa jadi laki-laki. Kedua, keterangan “ketika ibunya mabuk di pub” seakan menuding keteledoran ibunyalah yang menjadi penyebab kematian anaknya. Bahasa diskriminatif seperti itu kerap dijumpai dalam penulisan berita di media.
OPINI OLEH : Zulfatun Mahmudah (Mahasiswa S3 Doktor Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada)
Masih segar dalam pemberitaan media kita, bagaimana media membingkai pemberitaan tentang kasus Gisel. Dalam kasus tersebut, apakah benar ketika Gisel menjadi sosok tertuduh yang layak dihakimi melalui pemberitaan media yang fokus pada Gisel. Kita harus lebih jeli melihat kasus ini. Terlepas dari sudut pandang norma hukum, agama, dan sosial, Gisel sesungguhnya adalah korban dari perilaku orang yang dengan sengaja menyebarkan video miliknya. Pertanyaannya, seberapa besar pemberitaan media terhadap pelaku penyebaran video, dibanding berita tentang perilaku Gisel?
Pemberitaan tentang perempuan, juga kerap dikaitkan dengan kejahatan korupsi, meski pelakunya bukan perempuan itu sendiri. Judul yang sangat diskriminatif pernah menghiasi media kita. “Suami Tersangka Korupsi, Begini Foto-Foto Cantik Istri Mensos Juliari Batubara yang Kece dan Awet Muda” (https://newsmaker.tribunnews.com/2020/12/06/suami-tersangka-korupsi-begini-foto-foto-cantik-istri-mensos-juliari-batubara-yang-kece-awet-muda). Informasi tentang korupsi seseorang sesungguhnya tidak terlalu penting disandingkan dengan informasi foto cantik perempuan.
Judul tersebut terkesan sangat dipaksakan dan pembaca seolah digiring untuk memaknai bahwa istri cantik menjadi salah satu pemicu seseorang melakukan tindak korupsi. Representasi perempuan dalam berita tersebut memberikan makna tertentu tentang perempuan, yang dibingkai melalui bahasa. Stuart Hall dalam tulisannya yang berjudul The Work of Representation menyebutkan bahwa representasi adalah sebuah proses produksi makna melalui bahasa. Dalam Shorter Oxford English Dictionary, kata representasi merujuk pada dua pengertian yang berbeda tetapi saling berkaitan. Pengertian pertama merujuk pada tindakan untuk mendeskripsikan, menggambarkan, dan menghadirkan sesuatu dalam ingatan baik melalui deskripsi, potret, maupun imajinasi. Sedangkan pengertian kedua merujuk pada upaya menyimbolkan, menggantikan, dan juga mewakili.
Berbicara representasi perempuan, Rosemarie Buikema, dalam tulisannya yang berjudul “The Arena of Imaginings: Sarah Bartmann and the Ethics of Representation menjelaskan “language can be a means of making present whatever is absent.” Menurut Buikema, perempuan tidak cukup hanya hadir, karena representasi tidak hanya persoalan hadir atau tidak hadir. Apalah artinya perempuan hadir menjadi pusat pemberitaan, kalau kehadirannya justru menjatuhkan kredibilitas perempuan itu sendiri.
Representasi perempuan dalam media tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki. Dalam kamus “cultural studies” patriarki dimaksudkan sebagai tatanan sosial yang berulang dan dominasi sistematis laki-laki atas perempuan yang tersubordinasi di berbagai wilayah institusi dan praktik sosial. Media sebagai salah satu arena pertarungan berbagai kepentingan tidak bisa dilepaskan dari persoalan kepentingan ideologi patriarki tersebut. Dalam konteks ini, media tidak hanya dilihat dari proses produksi pesan, namun bagaimana eksistensi media dipengaruhi oleh faktor luar media itu sendiri. Makna media dibentuk dari kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi relasi kuasa dan norma dominan masyarakat yang kemudian direpresentasikan dalam sebuah teks.
Diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi, meski gerakan femininisme telah lama ada. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, diskriminasi justru terjadi begitu terstruktur dalam ranah media. Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komnas Perempuan tahun 2019 (https://nasional.tempo.co/read/1316317/kekerasan-terhadap-perempuan-naik-8-kali-lipat-dalam-12-tahun), pengaduan cyber crime mengalami kenaikan cukup signifikan, yakni sebanyak 281 kasus atau naik 300 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 97 kasus. Komnas perempuan menyebut bahwa kekerasan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah humor seksis.
Mengenal Bahasa Seksis
Kita sering terjebak dalam pemahaman yang kurang tepat tentang seksisme. Publik akan bereaksi ketika melihat perempuan mengalami tindak seksisme dalam bentuk pelecehan seksual. Padahal seksisme tidak sekedar persoalan pelecehan seksual. Seksisme bahkan bisa muncul dalam bentuk humor yang tidak disadari oleh audiens. Sara Mills dalam bukunya “language and sexism” menjelaskan humor seksis memungkinkan audiens ikut serta dalam teks ketika mereka tertawa. Menurut Mills banyak penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan adalah sasaran lelucon laki-laki.
Sangat disayangkan kalau perempuan sendiri justru tidak menyadari bahwa apa yang menjadi tontonan mereka, apa yang membuat mereka tertawa, sesungguhnya adalah pelecehan terhadap martabatnya sebagai perempuan. Tanpa disadari perempuan kerap meng-amini apa yang mendiskriditkan dirinya. Perempuan sebagai objek lelucon laki-laki bahkan menjadi pemandangan harian dalam media sosial kita. Perempuan dengan busana minim dan pose yang menonjolkan organ tubuh tertentu, lalu lalang di dunia maya, menjadi objek canda tawa yang menghiasi mobile phone para pemiliknya.
Kerja ideologis media dalam meneguhkan seksisme, juga menjadi perhatian Gaye Tuchman. Melalui tulisannya yang berjudul “The symbolic annihilation of women by the mass media”, Tuchman berpendapat media mencerminkan nilai-nilai dominan masyarakat dalam berbagai citra dan representasi. Media bertindak sebagai agen sosialisasi yang menyampaikan berbagai citra peran jenis kelamin yang distrereotipkan. Tuchman menilai media telah melakukan pemusnahan simbolis terhadap perempuan. Pemusnahan tersebut dilakukan dalam tiga cara, yaitu omission, trivialization, condemnation. Omission dimaksudkan sebagai tindakan yang menganggap kehadiran perempuan tidak penting, sehingga perempuan sengaja tidak ditampilkan. Kalaupun perempuan dimunculkan, keberadaannya sebatas sebagai pelengkap tanpa memiliki peran atau yang dikenal dengan trivialization. Di sisi lain, ketika perempuan dimunculkan, kehadirannya justru tidak lebih untuk dipersalahkan ataupun didiskriditkan.
Apa yang disampaikan Tuchman terlihat jelas dalam media kita. Narasumber sejumlah acara stasiun TV yang terkait perbincangan ilmiah misalnya, lebih didominasi laki-laki dari pada perempuan. Para pakar perempuan sengaja tidak dimunculkan. Memang benar, kadang perempuan juga hadir dalam acara tertentu, namun kehadirannya sekedar untuk pemanis tanpa peran penting. Lebih fatalnya lagi, kalaupun perempuan dimunculkan lebih untuk dihakimi atau dihujat, seperti dalam sejumlah kasus korupsi. Perempuan menghiasi sejumlah berita media, dengan penggambaran sebagai biang kerok dibalik tindak korupsi.
Diskriminasi perempuan tidak hanya berbentuk pemberitaan yang menyudutkan perempuan. Diskriminasi itu tampil dalam berbagai platform media, seperti film, iklan, bahkan panggung komedi, melalui bahasa yang bersifat “seksis”. Dalam film misalnya, semua film yang bertemakan horor seperti Kuntilanak, selalu mengangkat peran perempuan. Bahkan tidak hanya pemerannya, judulnya pun sudah melibatkan persoalan gender, seperti Perempuan Tanah Jahanam, Ratu Ilmu Hitam, Suzana Bernapas dalam Kubur. Perempuan seolah tampil sebagai sosok yang menyeramkan dan jauh dari kesan cerdas dan berilmu pengetahuan.
Di era serbamedia ini, saatnya perempuan bangkit mewarnai dunia media dengan peran yang lebih positif. Awak media yang selama ini didominasi laki-laki, sudah saatnya dipenuhi dengan goresan pena perempuan. Dengan peningkatan jumlah perempuan di dunia media, diharapkan pemberitaan tentang perempuan lebih berimbang. Kebangkitan pers nasional harus dibarengi dengan kebangkitan perempuan. Selamat Hari Pers Nasional, mari jadikan momentum ini sebagai tonggak baru gerakan membangun citra positif perempuan dalam dunia media. (*)