Nampaknya masyarakat sudah mulai meninggalkan informasi perkembangan covid-19 di Indonesia. Kondisi itu menguat setelah pembubaran Tim Gugus Tugas Covid-19. Informasi pencalonan Gibran putra presiden, akhirnya lebih menarik perhatian publik.
OPINI OLEH : Raymond Chouda, S.Ikom (redaktur halokaltim.com)
Penggunaan masker dan cuci tangan, jujur saja, saya sendiri sudah tidak sedisiplin dulu. Padahal, sekarang jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia sudah tembus 100 ribu. Ini bukan angka yang sedikit. Banyak juga sudah pasien yang meninggal akibat dampaknya.
Semenjak kemunculan segelintir teori konspirasi yang dipopulerkan beberapa publik figur, seperti dicontohkan Jerinx SID yang akhirnya berdemo tanpa masker, membuat masyarakat semakin berdamai dengan corona sekaligus berdamai dengan teori konspirasi, sedikit demi sedikit. Meski kita berusaha menuruti aturan protokol kesehatan oleh pemerintah, tapi kita sudah memasuki fase seperti judul artikel ini.
Ditambah lagi kasus heboh yang baru-baru terjadi, bahwa ternyata ada rumah sakit di Pulau Jawa yang bermain drama. Mereka membayar warga untuk memerankan tokoh pasien positif covid-19, supaya dapat anggaran covid-19 yang katanya mencapai ratusan juta rupiah. Kondisi Indonesia makin keruh akibat itu.
Kenapa saya sebut ‘percaya atau tidak dengan covid-19?’ Meski kita sudah jelas-jelas percaya, dengan pembuktian melalui patuh protokol kesehatan, dan mengiyakan setiap berita tentang perkembangan covid-19. Tapi berjabat tangan tanpa mencuci tangan memang sudah kita rutinkan kembali kok. Kita memang makhluk sosial yang tidak bisa dikekang oleh PSBB atau apalah itu namanya.
Masyarakat sudah tahu kok, bahwa corona tidak membunuh manusia, dan kematian pasien covid-19 itu hanya terjadi jika dia juga memiliki penyakit gandengan (katakanlah stroke, jantung, paru, hati, ginjal, dan deretan penyakit lainnya). Dan, sekarang kita juga sudah masuk di tengah-tengah fase ‘new normal’ yang digadang-gadang pemerintah dapat memperbaiki ekonomi.
Meski memang, sebelum new normal –bahkan sebelum corona masuk Indonesia– negeri ini sudah terbilang masih miskin. Mohon maaf ya pak/bu. Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam, belum bisa mengolahnya menjadi produk yang memutar ekonomi yang membuat sejahtera merata rakyatnya. Itu semua terlepas dari masih maraknya praktek korupsi di negeri ini.
Jadi, mau ada corona atau tidak, kita memang begini kok dari dulu. Bedanya, sekarang Indonesia punya corona untuk dipersalahkan sebagai penyebab kemiskinan.
Dan memang, dengan adanya aturan ketat PSBB dkk, rakyat miskin jadi makin miskin. Rakyat sederhana juga ikut terseret ke jurang kemiskinan. Sementara para konglomerat, mereka bisa melakukan antisipasi banting setir menjadi penjual masker, distributor vitamin, dan berbagai bisnis lain yang sesuai dengan tren kini.
Makanya, masyarakat sekarang diberi acara Pilkada sudah tidak masalah, walaupun awalnya mungkin sedikit kaget. Kita akhirnya menerima. Kita sudah tak sabar kepengin lepas dari corona, sehingga kita kadang lupa bahwa sebenarnya covid-19 masih ada.
Ketika mengaitkan masker ke wajah, niat kita sudah bukan lagi untuk benar-benar melindungi diri dari corona. Tapi cenderung untuk menetapi kewajiban protokol kesehatan, supaya gak ditegur.
Rasa-rasanya kondisi ini bukan diciptakan pemerintah. Presiden Jokowi dan jajarannya hanya memberi jalan yang bernama ‘new normal’ (sekarang sudah diganti jadi adaptasi baru). Kita sudah sama-sama tahu, bahwa itu hanya sekedar judul, lalu kita bertebaran di jalan itu dengan jalur yang lebih resmi.
Lantas, fase ini menjadi tantangan bagi pemerintah maupun wakil rakyat. Apakah mampu membawa masyarakat Nusantara lepas dari pandemi covid-19?
Kita harus fair, kondisi ekonomi dan sosial yang genting ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dan program pemerintah. Wakil rakyat juga sangat punya andil di situ. Bagaimana membuat masyarakat yang sudah mulai acuh dengan covid-19 supaya bisa keluar dari pandemi ini?
Ribuan APD dan masker itu bukanlah solusi untuk konteks ini. Yang kita tahu, kita sedang sama-sama menunggu covid-19 pergi dari Indonesia, dan kita sama-sama tidak tahu kapan itu terjadi. Sementara sejumlah pasien covid-19 meninggal dunia secara beruntun, dan sebagian masyarakat menudingnya sebagai konspirasi.
Program belajar online Mendikbud Nadiem Makarim juga sudah menemui keletihan. Kasihan anak-anak di rumah. Keponakan saya sudah lama tidak sekolah, meskipun di satu sisi itu menyenangkan bagi mereka karena punya lebih banyak waktu bermain.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya hanya bisa mengimbau pembaca yang budiman untuk tetap patuhi protokol kesehatan. Jangan keluar kota bila tak perlu. Hanya itu yang bisa dilakukan sampai kondisi membosankan ini benar-benar berakhir. Sebab kalung anti corona itu masih belum dijual di indomaret, dan vaksin covid-19 juga belum beredar di puskesmas terdekat.
Saya tergelitik oleh tulisan seorang jurnalis senior Kaltim, mantan guru saya di koran Kaltim Post dulu, Sumurung Basa Silaban. Kalimatnya sangat mengena dengan fase ini. Beliau menulis di facebook begini :
“Kenapa kamu ngotot corona tak bahaya, konspirasi, permainan media dll.
Tuh, RSU AWS dekat. Berani nggak jadi relawan kebersihan di ruang isolasi? Jangan pake APD ya”
Jadi saya ingin tegaskan sekali lagi.
Selamat datang di fase ini : fase percaya atau tidak dengan covid-19. Itu semua kembali kepada Anda, karena kesehatan saat ini adalah barang mahal. Itu tidak bisa dipungkiri. (*)